#pejuang_tangguh
Cerpen ini menang event tema di grup KPFI 🤗
***
Sesosok wanita muda duduk termenung sejak tadi. Menunduk tak bergairah dalam kegelisahan. Wajah ayu itu tak bersinar seperti biasa dalam bayang cermin kamar. Ia menghela napas pendek.
Terdengar sorakan teman sekolah menyerukan namanya berkali-kali. Rasa bangga dan haru menyelimuti hati. Bukan sekali dua kali ia mendapati keadaan seperti ini. Sebagai juara kelas dan bintang sekolah, namanya kerap disebut oleh Kepala Sekolah SMPN 5 sebagai juara satu di berbagai perlombaan. Berbagai piala dan piagam telah diraihnya yang kini berjejer rapi dalam lemari kaca di ruang kepala sekolah.
"Nara, kamu mau lanjutin ke SMA mana?" tanya Dian, salah satu teman sekelasnya, ketika ia duduk sendiri di dalam kelas.
"Gak usah ditanya kali. Udah jelas dong Nara bakal masuk sekolah favorit," sela Putri, teman sekelasnya yang lain.
Namun, Nara hanya tersenyum getir. Ia tak sanggup menjawab pertanyaan itu. Hatinya terasa perih bila teringat masa depannya.
Sekilas ingatan itu membuatnya gamang. Tapi tak lama. Matanya mendelik ke luar kamar. Kedua adiknya baru saja kembali mengantarkan pesanan kue buatan ibu.
Nara menghela napas lagi. Mencoba melapangkan dadanya. Pasrah dengan keadaan. Lalu bangkit dengan gontai meraih gagang pintu.
Saat pintu kamar lain terbuka, menyeruak aroma usang dari dalam. Seusang perabotan tua di dalam rumah dan setua usia pemiliknya.
Kinara menatap sayu seorang wanita tua yang tengah terbaring di atas ranjang kayu reot. Akan berderit-derit jika orang di atasnya bergerak-gerak. Kasur kapuknya sudah tak seempuk kasur miliknya. Tapi pemiliknya selalu betah tidur di atasnya tanpa pernah mengeluh minta diganti. Sama halnya tak pernah mengeluh dengan sakit pinggangnya yang kian memburuk.
Menyadari ada yang masuk, wanita tua itu langsung menoleh ke arah pintu ketika Kinara hendak kembali ke kamarnya sendiri.
"Nara ... masuklah!" pintanya lembut.
Kinara terkesiap menyadari bahwa ia terlambat pergi.
"Iya, Bu."
Tangan keriput itu menepuk-nepuk pinggir kasur. Memintanya untuk duduk di sampingnya. Kinara menuruti dengan langkah berat.
"Ada apa, Nara?" tanya sang Ibu sembari menatap hangat putri sulungnya.
Bibirnya merapat makin lekat. Ia ragu untuk mengutarakan pikirannya. Netranya bahkan tak mampu memandangi. Hanya resah yang dirasakan sejak tadi.
"Ada apa, Nara? Ayo katakan saja pada ibu," desaknya masih dengan nada lembut.
Sebungkus obat penahan nyeri tergeletak di samping bantal. Tampak tak ada yang bersisa di sana. Nara melihatnya sedih. Ia makin yakin jika keputusannya adalah yang terbaik. Terbaik untuk masa depan yang lainnya.
"Ibu, maafkan Nara."
"Memangnya kamu salah apa, Nak?"
"Maafkan aku tidak bisa memenuhi keinginan Ibu," ucapnya sedih.
"Maksud kamu apa?" Keriput di dahi wanita tua itu makin banyak. Ia wenatap bingung putrinya.
Nara menelan ludahnya sebelum kembali bicara.
"Maafkan Nara yang tidak bisa melanjutkan sekolah lagi. Nara tidak mau beban Ibu semakin berat." Dadanya mendadak terasa sesak. Bulir air mata mulai menggenang di sudut mata.
Mulanya Nara pikir ibunya akan marah. Tapi mata tua itu justru tetap terlihat tenang. Walaupun tersirat kekecewaan di dalam sana. Bibir berwarna gelap itu berusaha untuk tersenyum. Seolah tahu bahwa putri sulungnya sangat mengkhawatirkannya.