Tangis Maesaroh masih juga belum reda atas kepergian suaminya, Bang Udin, yang mendadak meninggal tadi pagi.
Matahari terik tersembunyi di balik awan kelabu, seolah ikut berduka atas kepulangan sang imam keluarga yang penyayang itu.
"Bang Udin, Mae nanti gimana, Bang? Mae gak sanggup hidup sendiri tanpa Abang," isaknya sambil berjalan mengantar keranda mayat ke tanah pekuburan terdekat.
"Udah Mbak Mae. Sabar dan ikhlaskan. Jangan ditangisi terus. Kasihan nanti almarhum terbebani di alam kuburnya," saran Rumi, tetangganya.
"Tapi gimana nasib Mae dan anak-anak, Rum? Selama ini kan yang cari nafkah Bang Udin." Wanita itu menyeka air matanya berkali-kali dengan jilbabnya.
"Kan Mbak Mae masih bisa nerusin jualan bakso," cetus Rumi tenang.
"Iya sih, Rum. Tapi masalahnya bukan itu juga."
"Ada masalah apa lagi, Mbak?" tanya Rumi penasaran.
"Itu lho, Rum, masalahnya Bang Udin itu ...." Bibir Maesaroh langsung terkatup begitu sosok Bang Kardi lewat di hadapannya.
Lantas ia menunduk dalam diam. Rumi jadi makin penasaran dengan perubahan sikap Maesaroh, istri pedagang bakso yang hitam manis itu.
Selama sisa perjalanan menuju tanah pekuburan, Maesaroh masih membisu. Hingga tiba saatnya jenazah siap dikebumikan. Namun, sebelum diturunkan oleh banyak pengantar jenazah, Ustadz Harun angkat bicara mewakili keluarga almarhum.
"Sebelum kita bersama-sama menguburkan Saudara Udin Bin Iskandar ke dalam rumah peristirahatan terakhirnya, marilah kita bersama-sama mendoakan beliau agar dimudahkan segala urusannya di alam kubur. Semoga amal ibadah beliau diterima Allah SWT. Mohon dimaafkan segala kesalahan dan kekurangan beliau selama hidup di dunia. Dan bila beliau masih ada sangkutan hutang piutang, silakan dibicarakan lagi dengan sanak keluarga yang ditinggalkan. Sekian dari saya. Silakan dilanjutkan acara pemakamannya," titah Ustadz Harun.
Beberapa orang warga mulai menurunkan jenazah Bang Udin ke dalam lubang kubur secara perlahan-lahan. Maesaroh berdecak memperhatikannya. Perasaannya sungguh tak karuan ditinggalkan suami tercinta secara tiba-tiba. Ia merasa nelangsa menjadi janda di usia 32 tahun. Derai air mata kembali membanjiri wajah manisnya.
Di sisi lain, Bang Kardi tengah memperhatikan Maesaroh dari sudut mata. Seutas senyum tersungging di wajahnya yang sekilas tampak kharismatik.
Merasa ada seseorang yang memperhatikannya dari jauh, Maesaroh langsung bersembunyi di balik tubuh pelayat lain. Ia merasa risih dipandangi oleh Bang Kardi yang terkenal suka mengoleksi istri.
Acara pemakaman berjalan lancar. Semua pelayat kembali pulang ke rumah masing-masing. Begitupun Maesaroh dan Rumi yang rumahnya bersebelahan.
Namun, baru saja alas kakinya dilepas dan menjejakkan diri di ubin rumah, suara parau Bang Kardi terdengar.
"Assalamualaikum," ucapnya ramah.
"Wa-waalaikumsalam," balas Maesaroh gugup.
Ia berbalik, terlihat sosok Bang Kardi yang tinggi besar dengan kumis tebalnya yang seperti hutan belantara tersenyum memuakkan di matanya.
"Boleh saya masuk?" tanyanya.
Belum juga dipersilakan tapi kakinya sudah lebih dulu berada di mulut pintu.
"Bo-boleh, Bang," balas Mae canggung.
Lalu lelaki berpakaian necis itu segera masuk dan duduk di salah satu kursi tamu yang sudah mulai usang.
"Ada perlu apa ya, Bang?" tanya Maesaroh memulai pembicaraan atau lebih tepatnya berharap obrolan segera dimulai lalu lelaki itu pergi setelah urusannya selesai. Mengingat kini dirinya seorang janda, ia berusaha menghindari fitnah.