Flash back
Sabtu sore Jamie bertandang ke rumah. Pemuda itu membawa dua buah tiket bioskop. Film yang sedang booming saat itu. Entah apa judulnya aku sudah lupa. Yang pasti teman-teman bercerita jika film horor tersebut sangatlah seru.
Sebenarnya aku paling enggan diajak pergi oleh Jamie. Karena ada pekerjaan yang menumpuk di rumah. Waktu itu Ibu sedang mendapat banyak orderan membuat seragaman gamis dari suatu majelis taklim. Sebagai anak sulung dari keluarga yang sederhana, aku dituntut untuk aktif membantu.
"Sudah sana pergi! Kasihan Jamie jauh-jauh datang ke sini, kalo kamu tolak ajakannya." Ibu menyuruh lembut ketika mendapati aku termenung bingung di depan kaca rias kamar.
"Tapi, Ibu lagi sibuk banget. Bukannya semua jahitan harus selesai dua jari lagi," balasku masih ragu.
"Gak papa." Aku meyakinkan, "kan ada Ayah sama Salwa yang bantuin Ibu. Lagian kamu sudah lembur terus seminggu ini bantuin ibu. Sudah saatnya kamu refreshing," papar Ibu bijaksana.
"Iya, deh." Akhirnya, aku mengangguk setuju. Kini tanpa ragu kuambil bedak, lalu mulai menyapukan spon ke wajah. Karena masih remaja tentu saja dulu aku lebih memilih lip color kalem untuk memperindah bibir.
"Kamu cantik lho, bersolek seperti itu." Pujian Ibu membuatku tersipu.
Selanjutnya kami melangkah ke ruang tamu. Tempat Jamie menunggu. Pemuda yang belum genap delapan belas tahun itu agak terpana melihat penampilanku malam ini.
Padahal aku hanya mengenakan bedak padat dan lip color biasa. Serta dress selutut yang juga sudah ketinggalan zaman. Namun, entah kenapa Jamie seolah tidak berkedip memandangku.
"Tolong jaga Shakira ya, Jam!" pesan Ibu pada pemuda yang setahun ini sering main ke rumah.
"Siap, Bu. Saya akan jaga Qiena sebaik-baiknya," sahut Jamie hormat.
"Ibu percaya sama kamu. Kamu anak baik kok."
"Makasih atas kepercayaannya, Bu. Kalo begitu kami permisi." Jamie berpamitan dengan sopan.
"Iya, hati-hati di jalan ya!" Ibu mengelus lembut kepala Jamie, saat pemuda itu menunduk untuk mengecup punggung tangan Ibu. "Jangan ngebut bawa motornya dan jangan pulang malam-malam ya!"
"Baik, Bu." Aku dan Jamie mengangguk kompak.
Usai salim pada Ibu, aku dan Jamie melangkah ke luar. Penuh kepedulian Jamie memasangkan helm pada kepalaku.
"Pegangan," suruhnya begitu menyalakan mesin motor.
"Gak ah! Bukan muhrim," tolakku asal.
Jamie tergelak kecil. Setahun menjalin kasih, aku memang belum pernah memeluk pinggangnya saat berboncengan motor. Selain menjaga dari hal yang tidak-tidak karena bersentuhan, aku juga tipe pemalu.
Seperti biasa, Jamie pun tidak memaksa. Lajang itu menjalankan motor besarnya dengan kecepatan sedang. Dia memang pemuda yang baik. Tidak suka kebut-kebutan saat naik motor. Tidak neko-neko walau dia termasuk idola di sekolah.
Dan yang paling membuat aku beruntung menjadi kekasihnya adalah Jamie begitu royal. Jamie tidak membelikanku kebutuhan sehari-hari. Baik itu keperluan sekolah maupun kebutuhan lainnya.
Begitu tiba di mall, kami langsung menuju ke lantai tiga. Tempat theater bioskop berada. Dengan dua buah cup besar berisi pop corn, Jamie mengajak masuk. Aku sendiri membawa dua minuman teh dalam botol.
Entah sengaja atau memang dapatnya, aku dan Jamie kebagian bangku di pojok ruangan barisan belakang. Begitu lampu dipadamkan, kami semua mulai serius menatap layar lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bosku Mantan Suamiku (21+)
ChickLitHaruskah kembali pada lelaki di masa lalu demi sang buah hati? Namun, menyakiti sahabat terbaik di masa kini. Atau memilih berlalu pergi, walau masih mencinta? Follow akun aku IG yenika_koesrini Tik-tok @yenikakoesrini1