Aku menangis. Bukan hanya karena sekujur tubuh terasa sakit. Serta area intim yang seperti terbelah ini. Namun, aku terisak karena menyesal. Merasa amat bodoh yang karena telah berbuat sesuatu yang dilarang oleh agama.
"Cup ... cup ... cup ...." Jamie meraih kepalaku. Dia memeluk untuk menenangkan. "Sudah jangan menangis! Gak akan terjadi apa-apa. Percaya deh," bujuknya sambil terus membelai rambut panjangku.
"Aku takut hamil, Jam," isakku sedih.
"Kalo cuma sekali gak bakalan."
"Tapi, kalo iya bagaimana?" tukasku marah sekaligus khawatir.
"Aku pasti tanggung jawab," janji Jamie mantap.
Pemuda itu menyeka air mataku. Bibirnya terus memberikan kalimat yang menenangkan. Serta janji-janji manis.
Ketika terasa sinar matahari menerobos celah ventilasi bilik, Jamie mengajak balik. Pemuda itu mengulurkan tangan. Dengan menahan sakit, aku berjalan menuju motor. Jamie dengan setia memapah.
Seperti biasa dengan pedulinya memakaikan helm. Menatapku seksama. Telapak tangannya menyapu wajahku.
"Nanti kalo di depan Ibu dan ayahmu jalannya yang normal saja, ya! Jangan ngangkang," sarannya lembut.
Aku hanya bisa menurut. Setelah itu motor pun melaju. Di jalan Jamie mulai mengarang cerita. Mencari alasan kenapa bisa pulang terlambat. Dia juga menyuruhku untuk ikut berbohong.
Ketika sampai di rumah, terlihat Ibu sudah menunggu di teras. Ada ayah juga yang duduk lemah di kursi roda. Lelaki itu sudah satu tahun tidak bisa berjalan akibat kecelakaan motor yang menimpa. Di sisi lain ada adikku Salwa yang terlihat sibuk mengotak-atik ponsel. Wajahnya pun sama paniknya seperti Ibu. Pastinya dia tengah menghubungi nomorku atau teman.
"Kira ...." Ibu berseru senang begitu melihat kedatanganku. Wanita itu berserta Shakira langsung bergerak menyongsong. "Ya ... ampun, Nak! Ibu semalaman kelimpungan nyari-nyari kamu," kata Ibu sambil memegang tanganku. "Kenapa tidak pulang?" Matanya menatap selidik.
"Waktu kami ke luar mall, hujan besar menghadang kami, Bu." Jamie yang menjawab karena aku hanya menunduk diam, "makanya kami menunggu di mall lama. Tapi gak berhenti-henti hujannya. Ibu tahu sendiri kan semalam kaya apa hujannya," terang Jamie begitu meyakinkan.
"Iya, semalam banyak jalanan yang tergenang banjir juga." Ibu mengamini omongan Jamie.
"Maka dari itu aku dan Kira memutuskan menginap di rumah teman yang rumahnya dekat dengan mal." Jamie kembali berbohong.
"Oh ... ya sudah gak papa. Yang penting kalian baik-baik saja," sahut Ibu sudah mulai tenang. "Kira, lain kali hapenya dibawa ya! Biar mudah dihubungi," suruh Ibu menatapku serius.
"Iya, Bu," balasku lirih. Di usiaku yang saat itu hampir menginjak angka delapan belas tahun, belum pernah sekalipun aku berbohong pada Ibu dan keluarga. Makanya sedari aku membisu. Tidak menimpali omong kosongnya Jamie.
"Eum ... kalo begitu saya permisi dulu ya, Bu," pamit Jamie sopan.
"Iya. Hati-hati di jalan," balas Ibu tidak kalah lembut, "dan terima kasih banyak ya karena sudah menjaga Kira dengan baik," ucap Ibu tulus. Wanita itu amat percaya pada Jamie. Di dalam sana hatiku berkedut perih.
Maafkan aku telah membohongimu , Ibu.
"Sama-sama." Di sisi lain suara Jamie sedikit sumbang saat membalas ucapan Ibu. Pastinya dia merasa bersalah karena bukannya menjaga, Jamie justru merusakku.
Ibu dan Salwa membimbingku masuk begitu motor Jamie melaju pergi.
*
Semenjak kejadian itu aku sengaja menjauh dari Jamie. Begitu pun sebaliknya. Aku yang sibuk dengan pekerjaan rumah dan belajar. Jamie yang aktif pada hobinya yaitu basket dan balap motor.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bosku Mantan Suamiku (21+)
ChickLitHaruskah kembali pada lelaki di masa lalu demi sang buah hati? Namun, menyakiti sahabat terbaik di masa kini. Atau memilih berlalu pergi, walau masih mencinta? Follow akun aku IG yenika_koesrini Tik-tok @yenikakoesrini1