Aku menangis semalaman. Sama sekali tidak bisa merehatkan badan. Dan Jamie pun tidak pulang ke rumah. Lelaki itu sepertinya marah besar. Sudahlah ... biar saja. Toh aku memang muak dengan tingkahnya.
Jamie memang amat muda saat mendapat gelar sebagai seorang ayah. Tapi, itu bukan alasan dirinya bisa bebas semau sendiri. Harusnya Jamie bisa berpikir, jika tanggung jawabnya sudah lebih besar lagi saat anaknya hadir. Semestinya dia paham jika anak dan istri adalah prioritas utamanya sekarang.
Sampai siang hari Jamie belum juga menampakkan batang hidungnya. Dengan mengabaikan perasaan hampa, aku bergerak ke kamar mandi. Membersihkan badan. Menyirami kepala dengan air dingin. Berharap otak yang dipenuhi pikiran buruk bisa sedikit merasa sejuk.
Usai mandi tanpa berpikir banyak kukemasi baju-baju di lemari. Air mataku meleleh kembali saat melihat baju-baju Gibran.
"Gibran ...." Aku memanggil lirih.
Cukup lama aku mendekap dan menciumi baju mungil kepunyaan Gibran. Berkhayal tengah memeluk bayi yang pertama kali lahir ke dunia itu sangat kecil.
Setelah cukup puas berangan, aku beranjak pergi. Kunci rumah aku serahkan ke pemilik kontrakan. Berpamitan pada wanita yang telah meminjamkan rumah selama delapan bulan terakhir ini.
Aku menaiki angkot untuk mencapai rumah Ibu. Tidak lama, hanya butuh sekitar waktu lima belas menit aku tiba di rumah masa kecil. Salwa yang tengah membaca buku di teras langsung menyambut.
Di ruang tengah ada Ayah yang tengah tiduran di sofa yang telah usang. Pria itu terlihat lebih kurus dari terakhir kulihat. Sementara Ibu tengah sibuk menjahit baju.
"Kok bawa koper datang ke sini?" Mata Ibu memindai koper yang kupegang dengan tatapan heran. "Kalo cuma sekedar pingin nginep di sini, baju kamu masih ada di sini, Kira," lanjutnya tenang. Wanita itu beranjak dari kursi, lalu mengelus rambutku lembut, "sudah izin sama suamimu?"
Aku berpaling dari tatapan serius Ibu. "Aku ke kamar dulu," kataku tanpa menjawab pertanyaan Ibu.
Kamarku masih tidak berubah. Semua masih tertata rapi. Tubuh penat ini kulempar pada ranjang sempit dengan kasur yang sama sekali tidak empuk.
Sehari semalam tidak bertemu Jamie, rindu berat melanda. Aku ingin bermanja-manja di dadanya. Tapi, di sisi lain aku kecewa padanya. Bahkan jika bayangan Gibran melintas di mata, rasa cintaku pada Jamie berubah menjadi benci.
Seharian aku mengurung diri di kamar. Baru beranjak ketika Ibu menggedor pintu untuk makan malam. Kulihat dengan penuh ketelatenan Ibu menyuapi Ayah yang duduk lemah pada kursi rodanya. Sementara Salwa terlihat lahap menyantap sayur bening dan tempe goreng buatan Ibu.
"Sebenarnya ada apa kamu datang ke mari, Kira? Cerita sama Ibu jika ada sesuatu yang mengganjal hatimu," suruh wanita yang malam ini mengenakan bergo warna hitam.
Aku meneguk air putih untuk menata hati. Saatnya bercerita.
"Aku dan Jamie sepakat untuk bercerai, Bu," kataku lirih. Entah kenapa seperti ada beban saat mengucap kata tersebut.
"Astaghfirullah hal adzim, Kira!" Ibu dan Ayah kompak berseru. Sementara Salwa juga langsung menghentikan suapannya begitu mendengar pengakuanku.
"Kira ...." Tangan kurus kering Ayah mengusap pelan rambutku. "Ayah tahu kamu masih belum bisa melupakan Gibran. "Tapi jangan siksa dia, dengan memilih berpisah," pintanya dengan suara lemah. "Sebagai seorang laki-laki Ayah juga memahami Jamie. Dia sama tersiksanya dengan kamu, Kira, saat tahu anaknya telah pergi."
"Kira gak nyiksa Jamie, Yah. Ini kesepakatan kami bersama." Aku mengelak pelan, lalu menunduk untuk menyembunyikan air mata yang siap meluncur ini.
"Kira, ingat perjuanganmu dan Jamie saat kalian akan menikah." Ibu mengingatkan dengan mengusap lenganku. "Jamie bukan penyebab utama kematian Gibran. Dia hanya masih labil sehingga--"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bosku Mantan Suamiku (21+)
أدب نسائيHaruskah kembali pada lelaki di masa lalu demi sang buah hati? Namun, menyakiti sahabat terbaik di masa kini. Atau memilih berlalu pergi, walau masih mencinta? Follow akun aku IG yenika_koesrini Tik-tok @yenikakoesrini1