11. Pertengkaran Hebat

4.4K 309 10
                                    

Aku membuka mata saat mendengar isak tangis yang menggema. Kusapu keliling ruangan. Ruangan yang tidak asing. Setelah seksama mencerna, ternyata aku sudah berada di kamar sendiri. Sinar matahari yang menerobos ventilasi menjadi penanda jika hari telah beranjak pagi.

Tidak jauh dari ranjang ada Ibu dan Salwa yang saling terdiam menatapku. Keduanya bermata basah. Mereka sama-sama mengenakan pakaian bernuansa hitam.

Sementara di ruang tamu sana terdengar suara yang riuh rendah. Seperti pengajian.

Ya ... mereka sedang membaca surat Yasin. Ada apa?

Tiba-tiba aku teringat putra semata wayang. "Bu ... Gi-Gibran mana?" tanyaku lemah. Walau masih pusing kucoba untuk bangkit dari rebahan. Ibu dan Salwa kembali hanya saling berpandangan saja.

"Dada aku sakit," kataku menahan nyeri yang menggerus dada. Perlahan kuremas dada yang terasa bengkak ini, "mana Gibran, Bu? Mau aku susuin? Terus di luar itu ada apa? Kenapa sepertinya ramai orang?" Bingung membuatku bercerocos panjang.

Ibu membesit hidungnya yang mampat. Wanita itu seperti habis menangis lama. Ada apa?

"Kira sayang, kamu yang sabar, ya," ucap Ibu sambil mengusap rambutku pelan. "Gibran ...." Ibu tidak melanjutkan omongannya. Wanita itu tergugu. Salwa langsung memeluk Ibu. Keduanya menangis saling bersahutan.

"Wa ... mana Gibran?" tanyaku bingung sekaligus takut.

"Mbak, Gibran itu sudah ...."

Deg!

Tiba-tiba aku teringat kejadian semalam saat di rumah sakit. Dokter yang memeriksa Gibran menyatakan jika putraku telah berpulang.

"Tidaaak!" Aku kembali histeris.

Sontak kusingkap selimut, lantas berlari menuju ruang tamu yang sudah penuh dengan para pelayat. Seperti Ibu dan Salwa, kebanyakan dari mereka juga mengunakan pakaian serba hitam.

Sementara di halaman sana, ada bendera berwarna kuning yang tengah mengibar karena tertiup semilir angin. Tampak Jamie dan Ayah duduk menghadap sesosok mungil yang tertutup kain jarik batik.

"Gibrannn!" Aku menubruk jazad kecil yang sudah terbujur kaku itu.

Merasa tidak percaya kubuka kain penutup. Gibranku tengah menutup mata dalam diam. Tidak ada tanda-tanda kehidupan pada wajahnya.

"Tidaaaak!" Aku menangis histeris. "Gibran, anak bunda ayo bangun, Nak! Ini bunda," pintaku sambil mengguncang tubuh mungil itu.

"Yang sabar, Kira, tenang!" Jamie mengingatkan. Lelaki itu menarikku agar tidak terus mengguncang tubuh kaku putra kami. "Gibran sudah pulang ke rumah Allah. Kita harus sabar," bisiknya lembut.

"Enggak mungkin! Gibranku masih hidup," ratapku pilu. "Gibran ...."

Rasa kehilangan yang teramat sangat membuat mulutku tidak henti untuk menangis, meratap getir, lalu akan melolong pilu jika benar-benar tidak percaya jika putra kami telah pergi. Mulut ini juga memaki Jamie, karena menurutku dia juga turut andil atas berpulangnya Gibran. Setelah itu berakhir dengan pingsan.

Karena terus-terusan pingsan, aku tidak mengikuti upacara pemakaman putra kami.

*

"Makan ya, Ki?" bujuk Ibu suatu hari.

Atas permintaan Jamie, wanita itu  menginap di sini. Walau acara tahlilan tujuh hari telah berlalu, Ibu setia menemani. Dirinya juga merasa sedih melihat keadaanku yang sehari-harinya hanya diisi dengan air mata.

"Aku gak lapar, Bu," tolakku lemah. Kurubah posisi dari terlentang menjadi miring memunggungi Ibu.

"Sampai kapan kamu terus seperti ini, Kira?" tanya Ibu sedih. Tangannya membelai rambutku. "Dengar, Nak! Kamu boleh bersedih, menangis, tetapi jangan sampai menyakiti diri sendiri. Ikhlaskan Gibran. Biarkan dia pergi dengan tenang," tutur Ibu lembut.

Bosku Mantan Suamiku (21+) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang