6. Tidak Direstui

4.5K 313 1
                                    

Rasanya duniaku hancur mengetahui fakta mencengangkan ini. Berulang kali kugosok mata, berharap jika penglihatan ini salah. Nyatanya alat itu menunjukkan tanda dua garis merah.

Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada, aku ke luar dari kamar mandi. Lalu bergegas menuju kamar untuk menumpahkan segala ketakutan ini pada bantal. Menangis sejadi-jadinya dengan mulut kubungkam agar suara isakannya tidak sampai terdengar di luar.

Seharian aku terus mengurung diri di kamar. Merutuk, menyesal, dan mengumpati kebodohan sendiri. Jangankan berselera makan, untuk membersihkan badan yang mulai lengket pun rasanya enggan.

"Kira ... sudah magrib, Nak. Jangan tidur terus!" Di luar Ibu mengetuk-ngetuk pintu kamar. Dia pikir aku tidak ke luar kamar karena istirahat. "Ayo bangun, Ki! Mandi dan ibadah Maghrib," perintah Ibu sambil terus mengetuk pintu.

Mau tidak mau aku harus bangun dari ranjang. Sebelum ke luar kulirik cermin di lemari. Mata ini sembap. Berulang kali kugosok, tetap saja bekas tangis ini tetap kentara.

"Kok mata kamu bengkak? Habis nangis? Ada apa?" cecar Ibu begitu aku membuka pintu. "Habis berantem sama Jamie?" tebak Ibu selidik.

"Eum ... enggak." Aku mengelak dengan gelengan pelan, "sebentar lagi aku kan lulus, sedih saja mau pisah sama teman-teman Kira, Bu," kilahku dusta. Ibu menyipit. Seakan tidak percaya dengan apa yang kuucapkan. "Ya sudah, aku mau mandi dulu, Bu."

Kutinggalkan Ibu yang masih berkerut heran. Langkahku tertuju kamar mandi. Membersihkan badan secepatnya, lalu bergegas menunaikan kewajiban tiga rakaat.

Usai salam, aku kembali bersujud lama. Menangis lagi. Meminta pertolongan Allah agar dibukakan jalan.

*

Hari ini pengumuman kelulusan. Semua siswa tampak bersuka cita setelah dinyatakan lulus. Namun, tidak dengan diriku. Impianku untuk melanjutkan pendidikan dengan bea siswa, kandas karena kehamilan ini

Di bawah panggung acara kelulusan, dari kejauhan kulihat Jamie tengah berbicara dengan mama papanya. Kedua orang tuanya yang begitu sibuk menyempatkan hadir pada acara kelulusan sang putra. Walau Jamie tidak meraih gelar siswa teladan. Namun, prestasinya di bidang olahraga membuat kedua orang tuanya bangga.

Melihat bagaimana berkharisma papa Jamie, serta anggunnya sang bunda membuatku kembali didera rasa rendah diri. Kuurungkan niat menemuinya. Tapi, Jamie harus tahu kehamilan ini.

Saat pengumuman siswa peraih nilai tertinggi, namaku dipanggil. Semua teman berseru menyemangati aku. Ibu yang hadir di acara itu terlihat begitu bahagia. Bahkan saat kutoleh Jamie, pemuda itu mengacungkan jempol.

Semua orang bahagia. Hanya aku sendiri yang merana. Perlahan aku naik panggung. Bergabung dengan para siswa lain untuk mendapatkan penghargaan.

Sambutan dari kepala sekolah yang lumayan lama membuat aku didera rasa bosan. Pusing pun tiba-tiba melanda. Pidato Bapak Kepala sekolah terdengar seperti lebah yang berdengung di telinga.

Keringat dingin membanjiri badan. Rasa mual sialan ini juga mulai menyerang. Namun, Bapak kepala sekolah masih setia berpidato. Kini kunang-kunang memenuhi penglihatan.

"Shakiraaa!" Masih sempat kudengar suara orang memanggil. Namun, setelah gelap yang terlihat, aku tidak sadar selanjutnya.

*

Aroma minyak angin tercium begitu menyengat. Di dalam kepeningan aku mencoba membuka mata. Orang yang pertama terlihat adalah Ibu. Wajahnya terlihat berduka. Bahkan matanya tampak merah. Kenapa?

"Siapa? Siapa pelakunya, Kira?" tanya Ibu dingin. Aku tidak langsung menjawab. Mata ini menyapu sekeliling ruangan. Ternyata aku ada di klinik sekolah. "Jawab ibu, Kiraaa!"

Bosku Mantan Suamiku (21+) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang