Sosok itu tidak pernah berubah. Parasnya masih rupawan. Hanya saja jika dulu tubuhnya kurus khas remaja. Sekarang menjelma lebih tegap dan kekar. Bahkan dada tempat favoritku bersandar itu kini terlihat begitu bidang.
"Mas Jamie, kenalkan temanku. Namanya Mbak Shakira."
Sandrina begitu antusias mengenalkan aku pada lelaki itu. Wajahnya tampak berbinar. Dia bahkan menyebutku temannya. Padahal kami baru bertemu beberapa jam yang lalu.
Seperti halnya aku, lelaki yang pernah mengisi hari-hariku itu terpana begitu menyadari siapa aku. Lebih sekitar lima menit dia bergeming dengan mata yang terus menatap.
Aku sendiri menunduk. Merasa amat rendah diri. Kami terlihat amat berbeda. Seperti bumi dan langit. Oh bukan! Laksana langit dan sumur. Jauh sekali.
Lihatlah! Jamie terlihat amat menawan. Pakaian yang ia kenakan sangat bagus dan yang pastinya mahal. Walaupun pria kulitnya amat bersih dan terawat. Tinggi badannya juga bertambah dari terakhir kali kulihat.
Sementara aku? Orang bilang tubuhku terlalu kurus. Tentu saja, aku harus mengencangkan ikat pinggang demi melihat anak, ibu, serta adik terpenuhi kebutuhan perutnya. Jangankan untuk membeli skincare, tidak puasa setiap hari sudah beruntung.
"Jamie."
Oh ... rupanya dia berpura-pura tidak mengenali aku dengan mengulurkan tangan.
Baiklah. Kita berlagak tidak saling mengenal saja.
"Shakira."
Aku membalas tanpa mau menyambut uluran tangan itu. Cukup dengan menangkupkan kedua tangan. Aku tidak mau kulit kami bersentuhan. Takut jika akan ada aliran yang membuat dadaku terasa sesak. Apalagi jari manisnya sudah melingkar sebuah cincin emas putih bertahtakan berlian.
Jamie ... secepat itukah kamu melupakan aku?
Tidak cepat juga. Karena kami telah berpisah selama sepuluh tahun lamanya. Wajar jika dia telah bertunangan. Atau mungkin segera akan menikah.
Jamie sendiri tersenyum kecut. Tangan kanannya ia remas sendiri. Mungkin malu karena uluran aku tidak membalas jabatannya. Lelaki itu duduk di samping Sandrina dan tepat di hadapanku.
"Mbak Shakira ini hebat sekali lho, Mas," puji Sandrina masih dengan wajah berseri.
"Oh ... ya? Kenapa?" Jamie menyahut malas.
Lelaki itu tidak berani ... bukan! Lebih tepatnya, enggan menatapku. Ia lebih suka menyapukan pandangannya pada sekiling food court ini.
"Aku habis narik uang di ATM. Tiba-tiba ada bandit yang jambret tas aku. Untung Mbak Kira ini datang menolong," tutur Sandrina antusias. "Lihat! Mbak Kira yang kurus ini sampai harus babak belur melawan jambret gede itu," terang Sandrina menggebu. "Gondoknya ... ada banyak orang yang ngeliat aku dijambret cuma lihatin doang. Mbak Kira inilah yang pasang badan. Sampai sepatu juga rusak," pungkas Sandrina sambil menatap prihatin padaku.
Jamie menatapku. Matanya berhenti lama di bibir yang robek ini. Dia juga melihat sepatuku. Beruntung sepatu buluk kepunyaan telah diganti oleh Sandrina dengan sepatu yang lumayan mahal. Dan tentu saja enak dipakai.
"Mas ...." Jamie menoleh begitu namanya disebut Sandrina. "Mbak Kira ini single mom," lapor wanita itu pelan. Jamie sendiri kembali menatapku dalam diam. "Dia butuh pekerjaan," imbuh Sandrina terlihat amat peduli padaku.
"Maksud kamu?" Jamie menatap Sandrina ragu.
"Mas kan punya banyak cabang distro. Mungkin bisa bantu dia," sahut Sandrina begitu yakin mempromosikan aku.
"Nin ... aku biasa merekrut pemuda atau gadis untuk karyawan aku. Jadi ...." Jamie enggan meneruskan kalimatnya. Sepertinya dia ragu jika harus menerimaku sebagai karyawannya. Walau begitu ada bias iba pada sorot matanya saat menatapku.
"Mas, Mbak Kira orang yang sangat tulus." Lagi-lagi Sandrina memuji. "Babak belur begini, Mbak Kira ngembaliin semua barang yang kuberikan dengan alasan pertolongannya adalah lillah hi ta'ala. Dia hanya butuh pekerjaan saja, Mas. Tolonglah!" Aku terharu saat mendengar Sandrina memohon pada tunangannya.
Jamie menghela napas berat. "Baiklah," putusnya lirih. Perlahan ia mengambil dompetnya dari saku belakang celana jeans-nya. Sebuah kartu nama ia taruh di meja. "Kamu ... eum maksudku Mbak Kira silahkan datang ke kantor saya," ucapnya terdengar tidak yakin. Sementara Sandrina, kulihat wajahnya kian berseri mendengar keputusan dari tunangannya.
"Baik." Aku membalas lirih pula. Demi sandiwara ini kartu nama tersebut aku ambil. Lantas menyelipkan di saku celana bahan panjang ini. "Eum ... sepertinya saya harus permisi dulu. Ada banyak hal yang harus dikerjakan lagi," pamitku kemudian.
"Lho ... pesanannya kan belum dimakan, Mbak Kira. Sayang dong," tegur Sandrina sambil menunjuk nasi ayam dan beberapa nugget pesanan.
"Iya, tapi saya buru-buru." Aku tetap bersikeras.
"Baiklah. Sebaiknya dibungkus ya, Mbak. Bisa dimakan di rumah." Sandrina menyarankan dengan sopan. Aku sendiri tidak bisa menolak ketika dia memanggil pelayan untuk membungkus pesanan yang belum dimakan. Tidak lupa Sandrina juga memesankan tiga porsi nasi ayam plus minuman bersoda serta nugget dan kentang goreng. Mataku agak terbeliak karena Sandria juga membelikan burger.
"Buat anaknya ya," ucapnya tulus saat menyerahkan plastik putih berisi makanan.
Aku terharu. Antara bahagia dan malu. Bahagia karena Kimi pasti suka jika aku bawakan burger. Anak itu sangat menyukai makanan junk food itu. Sayang dia jarang menikmati makanan favorit tersebut dikarenakan keterbatasan.
Malu karena aku terlihat begitu sengsara di hadapan Jamie. Lelaki yang dulu tendang dalam hidup.
"Terima kasih, Mbak Nina. Mbak sungguh baik," ucap sedikit bergetar. Tiba-tiba saja aku ingin menangis. Menyadari betapa baiknya calon istri Jamie.
"Sama-sama." Sandrina membalas dengan senyuman. "Jangan lupa besok datang ya ke kantornya Mas Jamie," ujarnya seraya menepuk lengan sang calon.
Aku hanya mengangguk pelan. Setelah mengucapkan salam, perlahan aku melangkah mundur. Masih dengan memasang senyum untuk Sandrina. Begitu berbalik arah, kaki ini kuayun lebar. Kaca-kaca di mata akhirnya pecah juga.
Ya ... aku menangis. Meratapi takdir. Kenapa harus dipertemuan kembali dengan Jamie. Lelaki yang susah payah kuhapus namanya dalam hati.
Di dalam bus saat pulang, kenangan sebelas tahun silam berkelindan di mata. Kenangan saat masih bersama dengan Jamie.
Sepuluh tahun lalu aku dan Jamie masih duduk di bangku kelas akhir SMA. Banyak yang bilang jika aku termasuk gadis yang beruntung. Karena dipilih Jamie menjadi kekasihnya.
Jamie yang rupawan dan berasal dari keluarga berada tentu saja menjadi incaran setiap gadis. Apalagi dia juga berbakat di olahraga basket. Makanya ketika kabar kedekatan kami tersiar di seantero sekolah, mendadak aku jadi punya banyak haters.
"Ahhh ... Shakira itu hanya dimanfaatin doang oleh Jamie. Soalnya dia pintar."
"Aduh ... Jamie kok mau sama Shakira. Cewek cupu nan miskin itu. Pasti karena dia pintar."
"Paling Shakira kasih guna-guna biar Jamie mau sama dia."
"Paling juga jalan dua bulan doang. Abis itu Shakira cupu itu pasti bakalan didepak Jamie."
Waktu itu banyak sekali mulut-mulut nyinyir yang menyangsikan hubungan kami. Sama halnya teman-teman, aku pun meragukan ketulusan hati Jamie.
Namun, dengan lembutnya Jamie berujar jika dia memang benar-benar mencintai aku apa adanya. Walau pun kasta kami berbeda. Jamie juga berjanji walau apapun yang terjadi, dia tidak akan pernah pergi meninggalkan aku.
Hingga terjadilah malam kelam itu. Malam yang kusesali sepanjang hidupku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bosku Mantan Suamiku (21+)
ChickLitHaruskah kembali pada lelaki di masa lalu demi sang buah hati? Namun, menyakiti sahabat terbaik di masa kini. Atau memilih berlalu pergi, walau masih mencinta? Follow akun aku IG yenika_koesrini Tik-tok @yenikakoesrini1