10. Gibranku yang Malang

4.2K 286 8
                                    

Usia Gibran belum genap lima bulan waktu itu. Bayi itu masih ASI eksklusif. Berbekal bacaan di buku KIA yang menyatakan jika obat mujarab untuk bayi adalah ASI, maka kususui Gibran.

Sayangnya bayi prematur yang sudah mulai menggembul itu tidak mau menyusu. Suhu badannya masih tetap panas walau telah dikompres.

"Jam, sebaiknya bawa Gibran ke dokter deh. Kasihan dia gak mau nyusu," mohonku dengan penuh harap.

Jamie melihat waktu. "Oke. Masih ada waktu dua jam lagi. Semoga nanti setelah dikasih obat sama dokter jadi baikan," sambutnya setuju.

Persetujuan Jamie laksana hujan di alas yang kering. Menyejukkan. Tanpa buang waktu lekas kugendong Gibran.

Kami pergi ke klinik dengan mengendarai motor. Sebulan setengah kemarin Jamie baru mengambil kendaraan roda dua itu dari dealer. Dia merasa mampu untuk mencicil.

Karena memang sangat butuh, aku pun mendukung. Namun, konsekuensi yang kudapat adalah makin jarangnya Jamie di rumah. Hari-harinya dipenuhi untuk mencari uang. Jika ada waktu luang, kerjanya hanya tidur seharian.

Itulah mengapa dia sangat senang dengan acara reuni ini. Baginya semacam hiburan untuk hari-harinya yang melelahkan.

Dengan kecepatan lumayan tinggi, Jamie memacu sepeda motornya. Kami tiba lebih cepat sepuluh menit dari waktu biasa. Sayangnya poliklinik yang kami kunjungi sedang ramai.

Di ruang tunggu banyak pasien yang tengah menunggu diperiksa. Dari pasien bayi hingga pasien anak-anak. Sepertinya memang sedang musim anak-anak sakit. Naasnya, kami justru mendapat antrian terakhir karena datang terlambat.

Berkali-kali Jamie melihat jam tangannya. Lalu mulutnya berdecak gemas.

"Aduh ... bisa telat kita ini, Ki," keluhnya sambil mendengkus gelisah.

"Ya Allah, Jam. Anak sakit masih saja memikirkan reuni," sahutku ikut gemas, "ketemu teman kan bisa kapan saja," imbuhku rada senewen dengan tangan yang mengusap-usap rambut Gibran. Bayi itu tengah tertidur. Namun, suhu tubuhnya masih saja tinggi.

"Ini tuh mumpung ada waktu, Ki." Jamie menyahut tidak mau kalah, "hari-hariku itu hanya diisi nyari duit duit dan duit. Aku butuh hiburan," sergahnya sama sekali tidak peduli dengan keadaan Gibran.

Aku sendiri jika melihat Jamie sudah meninggikan suara lebih memilih diam. Kami masih sama-sama muda. Baru berusia sembilan belas tahun. Kalau menuruti ego, pertengkaran dan berantem akan sering terjadi. Beruntung aku punya Ibu yang selalu menasehati, bahwa salah satu dari kami memang harus ada yang mengalah.

"Bayi Gibran!"

Setelah satu jam lebih menunggu akhirnya Gibran dipanggil juga. Seorang dokter yang sudah beruban menanyakan keluhan apa. Kujelaskan selugasnya. Sementara Jamie hanya diam mendengarkan.

Gibran diperiksa. Dokter tua itu manggut-manggut, lalu menuliskan resep.

"Minum tiga kali sehari setelah minum ASI, ya!" titah dokter sambil menyerahkan catatan resep.

"Baik, Dok," sahutku sambil menerima catatan tersebut. "Terima kasih. Kalo begitu kami permisi," pamitku kemudian.

Aku dan Jamie kembali ke rumah. Di jalan kami berhenti di apotek guna menebus obat. Setelah itu baru meneruskan perjalanan.

Sampai di rumah Gibran masih tertidur. Namun, tetap kujejalkan puting padanya. Bayi itu menghisap pelan. Ketika matanya terbuka obat dalam bentuk sirup itu kuberikan.

Jamie sendiri begitu sampai rumah langsung bergegas mandi. Dia mengenakan pakaian terbaik. Badannya yang masih terlihat kerempeng ia semprot dengan parfum. Rambut hitamnya ia sisir rapi. Penampilannya yang begitu menawan sering membuat orang salah tafsir. Banyak yang mengira jika dia masih bujangan.

Bosku Mantan Suamiku (21+) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang