Aku terdiam mendengar ucapan keras serta ketus dari Jamie. Rasanya sakit yang menyerang perut tidak sebanding dengan sakit dibentak oleh dia. Lelaki yang baru enam bulan ini sah menjadi imamku. Sedih karena semarah apapun Ibu atau Ayah, keduanya tidak pernah meninggikan suara padaku atau pun pada Salwa.
"Ki, kamu masih di situ?" Di seberang sana suara Jamie mulai merendah.
"Agrhhh!" Aku tidak membalas pertanyaan dari Jamie. Bibir ini justru mengerang. Menahan rasa sakit yang melesak di perut ini.
"Ki, kamu kenapa?" Suara Jamie terdengar sedikit panik.
"Ahhh ... kata Ibu, aku mau melahirkan, Jam," balasku sambil menggigit bibir bawah. Berusaha mengalihkan rasa sakit yang menghebat ini.
"Apa? Yang bener?!" Jamie berseru tidak percaya. "Bukannya masih satu bulan lagi?" cecar Jamie.
Memang usia kandunganku baru menginjak tiga puluh dua minggu. Sementara bayi normal biasanya lahir di usia tiga puluh enam sampai tiga puluh delapan minggu.
"Ini sudah sakit banget, Jam. Awww!"
"Aduuuh ... mana aku belum selesai syuting. Masih tiga jam lagi," cemas Jamie terdengar bingung. "Sebentar! Aku coba minta izin dulu, ya," tutup Jamie mengakhiri sambungan telepon.
Aku sendiri sudah tidak kuat menahan rasa sakit. Hanya bisa terus merintih dan sesekali menyebut nama Allah.
"Ibu ...." Aku merintih lagi.
"Bagaimana? Kapan Jamie akan pulang?" tanya Ibu dengan mimik khawatir.
"Jamie belum jelas kapan pulangnya," balasku dengan bibir yang terus mendesis.
"Ya sudah kita ke rumah sakit sekarang saja! Gak usah nunggu Jamie segala. Kasihan kamu," putus Ibu tanggap.
Wanita itu langsung membimbingku ke luar kamar. Sementara Salwa membantu membawakan tas. Tangan remaja itu bergerak cepat menghubungi taksi online.
Sambil menunggu taksi menjemput, Ibu selalu membisikan kata-kata penyemangat. Sementara Ayah terus mengalunkan dizkir. Meminta pada Sang Pencipta agar aku dimudahkan proses kehalirannya.
Begitu taksi datang, Ibu dan Salwa langsung memapah. Salwa tidak ikut serta mengantar ke rumah sakit, karena dia akan menjaga Ayah.
Jalanan yang sepi membuat mobil yang kami tumpangi lebih cepat sampai di klinik. Aku langsung di tempat ke ruang bersalin. Kata bidan yang memeriksa aku sudah pembukaan tujuh.
Tinggal tiga pembukaan lagi. Namun, rasa sakit yang terus menggerus membuat aku harus meringis. Sesekali mengerang jika desakan itu terasa kian menggila. Rasanya pinggang ini mau patah.
Aku disuruh untuk tidur dengan posisi miring ke kanan. Kuturuti, tetapi sakit ini kian bertambah saja. Bahkan semakin merapat jaraknya. Dari yang semula melilit setengah jam sekali, maju menjadi lima belas menit sekali dan kini sudah tiap menit aku mengerang.
Sementara Jamie juga belum menampakkan batang hidungnya. Aku butuh dia untuk menguatkan. Walau di sini ada Ibu. Tiba-tiba aku merasa ingin buang air besar.
"Wah ... sudah lengkap ini pembukaannya," kata Bu Bidan saat memeriksa. "Bersiap ya, Mbak Kira. Tarik napas dalam-dalam, lalu buang. Pegang kedua kaki. Ingat jangan angkat pantat ya, biar tidak ada robekan." Bidan bertubuh subur itu mengintruksi. Aku yang sudah teramat sakit hanya bisa mengangguk dan mendesis.
"Saat mengejan jangan menutup mata! Pandang ke perut ya!" Lagi-lagi bidan yang sedikit lebih muda dari Ibu memerintah lembut. "Ayo Mbak Kira! Bayinya sudah mau keluar ini!"
Aku mengejan sekuat mungkin. Namun, mengeluarkan kepala bayi itu ternyata tidak semudah yang kita kira. Berkali-kali aku mengejan. Namun, bayi ini belum keluar juga.
Peluh membasahi seluruh tubuh. Sakit yang mendera membuatku mengerang dan kadang memanggil Jamie. Tangan Ibu kuremas jika mau mengejan.
Akhirnya setelah empat jam berjuang antara hidup dan mati, bayi laki-laki berhasil keluar dari rahimku. Tepat adzan subuh berkumandang suara tangis bayi memecah ruangan.
Aku seketika menyebut nama Allah berkali-kali. Sementara Ibu langsung sujud syukur. Dan Jamie belum juga datang.
Rasa sakit semalaman telah hilang sudah. Berganti perih karena rahimku dijahit. Untung hanya satu jahitan karena aku manut dengan tidak mengangkat pantat.
Jamie datang pukul tujuh pagi bersama Salwa. Wajahnya menampakkan kelelahan. Namun, bibirnya langsung menganga lebar melihat putra pertama kami.
"Kecil sekali." Jamie takjub. Ketika dia enggan menggedong, Ibu memaksa.
"Anak kalian itu prematur makanya berat badannya kecil. Hanya dua puluh ons," jawab Ibu lembut. "Ayo adzan untuk anakmu, Jam! Sebelum dibawa ke ruang inkubator," suruh Ibu kemudian.
"Baik." Jamie mengangguk manut.
Walau sangat takut, tetapi Jamie tetap mau juga menggendong bayi mungil kaki. Perlahan alunan kumandang adzan bergulir dari bibirnya. Lirih, tetapi cukup menenangkan.
Usai diadzan dan iqomah, bayi kami dibawa ke ruangan khusus bayi. Ibu kusuruh pulang. Kasihan dirinya semalaman menunggui aku. Begitu juga dengan Salwa, karena dia juga harus berangkat sekolah.
"Terima kasih ya, Kira. Sudah mau melahirkan putraku," ucap Jamie sendu. Lelaki itu mengecup keningku lembut.
"Kenapa telat datang?" tanyaku lemah.
"Maaf." Jamie meraih tanganku. "Aku dapat peran yang dialognya lumayan, Ki. Ketika aku izin, tidak diperbolehkan sama sutradara. Apalagi aku anak baru. Aldi saja gak berani," terangnya sambil terus membelai rambutku.
"Ya sudah ... gak papa." Aku membalas maklum. "Mau kamu kasih nama siapa putra kita?" tanyaku dengan tatapan mendongak penuh cinta. Rasa bahagia membuat aku melupakan amarah karena tidak ditungguinya.
"Eum ... aku sudah menyiapkan namanya. Aku suka nama Gibran yang artinya Gigih dan Berani. Bagaimana kamu setuju?"
"Aku setuju," balasku dengan senyum. Jamie kembali mengecup pipiku.
*
Tiga hari berlalu, aku sudah diperbolehkan pulang. Bayiku menyusul dua hari kemudian. Itu karena sudah memenuhi berat badan yang normal yaitu dua puluh lima ons.
Sebagai orang tua yang baru tentu aku belum mampu mengerjakan tugas mengasuh bayi sendiri. Beruntung ada Ibu dan Salwa yang selalu membantu. Jamie sendiri sudah sibuk dengan casting dan audisi. Waktu untuk putranya nyaris tidak ada.
Empat puluh hari usia Gibran, Jamie mengajak aku hidup mandiri dengan cara mengontrak rumah sendiri. Uang hasil syuting dan pemotretan membuatnya merasa mampu membiayai hidupku tanpa bantuan Ibu.
"Aku tidak ingin terus membebani Ibumu, Ki," ujarnya memberi alasan. "Kita hidup mandiri. Aku akan kerja keras demi kamu dan Gibran. Kamu mengurus si kecil. Mengatur uang belanja. Jika sisa kasih ibumu uang," bujuk Jamie dengan manisnya.
Karena terus menerus membujuk aku pun tidak bisa menolak. Apalagi karier Jamie memang sudah mulai menanjak. Wajahnya sudah kerap muncul di televisi membintangi beberapa iklan komersial. Atau juga tampil di sinetron, walau masih sebagai peran pembantu.
Di usia Gibran menginjak tiga bulan, Ibu mengizinkan aku dan Jamie pindah rumah. Kami mengontrak rumah yang sama sempitnya dengan kediaman Ibu. Namun, karena hanya ditempati berdua makanya terasa lapang.
Suatu hari Jamie menyampaikan undangan reuni dari teman-teman SMA. Lelaki itu terlihat semangat sekali. Dia tidak segan membelikan aku dan Gibran baju baru.
Namun, pada hari H, Gibran justru terserang demam. Badannya panas.
"Kita batalkan saja ya, Jam," pintaku dengan perasaan tidak menentu.
"Gak bisa dong, Ki." Jamie menggeleng cepat, "aku sudah lama tidak bertemu teman-teman."
"Tapi, Gibran panas."
"Kasih obat panas atau kompres kan bisa. Tinggal tiga jam lagi ni acara," kata Jamie sambil melihat waktu di jam tangan yang baru ia beli beberapa hari lalu.
"Aku tetap gak mau ikut biar pun nanti Gibran turun panasnya."
"Ya sudah ... aku datang sendiri saja," balas Jamie egois.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bosku Mantan Suamiku (21+)
ChickLitHaruskah kembali pada lelaki di masa lalu demi sang buah hati? Namun, menyakiti sahabat terbaik di masa kini. Atau memilih berlalu pergi, walau masih mencinta? Follow akun aku IG yenika_koesrini Tik-tok @yenikakoesrini1