Perpisahan di Atas Pertemuan (cerpen)

9 3 0
                                    

Judul : Perpisahan di Atas Pertemuan
By : Andini Arzeti

"Ayah jahat! Kenapa ayah mau ninggalin aku sama bunda!" teriakku dengan memukul lengan ayah kuat. Ayah hanya menatapku teduh, lalu berkata, "Maafkan ayah, Nak! Ini demi kita semua. Ayah janji suatu saat akan kembali." Hangat yang kurasa saat tubuh tegap ayah memelukku.

"janji, ya! Ayah, akan pulang, kan?" tanyaku sembari menatap manik mata teduh milik ayah.

"Iya, ayah janji." Dikecupnya pucuk kepalaku lembut, lalu menatap bunda hingga akhirnya menarik koper dan berjalan ke arah pesawat. Kulihat ayah melambaikan tangan dengan sesekali menyeka air mata, sementara aku sudah menangis senggugukan.

Sejak umur dua tahun, ayah sering meninggalkan aku dan bunda keluar kota demi pekerjaan. Hingga sekarang usiaku sudah menginjak delapan tahun, ayah semakin sering keluar kota. Pekerjaannya sebagai seorang TNI membuatnya harus melakukan ini semua.

****

Siang ini udara terasa sangat dingin, mungkin karena hujan yang turun lebat. Sweater setebal apapun rasanya tak mampu menetralisir dingin. Namun, bagiku sangat mudah menulis ketika hujan turun, seakan ide mengalir dengan lancar. Sesekali kuseruput susu yang sedari tadi berada di atas meja, rasanya hangat.

Aku Rain, seperti namaku, aku sangat menyukai hujan. Pernah dulu aku dimarahi oleh bunda karena terlalu lama bermain hujan. Tetapi, itu tidak membuatku jera. Bermain di bawah hujan membuatku damai, hal itu juga bisa mengatasi rasa rindu pada ayah.

Dulu saat usiaku lima tahun, ayah sering mengajakku bermain hujan ... sampai bunda marah sama kami karena kelamaan mandi hujan. Kutatap foto yang ada di meja, seorang pria paru baya dengan seragam TNI berdiri tegap dengan menggendong seorang anak kecil. Ya, anak kecil itu adalah aku.

"Ayah ... Rain rindu. Sudah delapan tahun ayah pergi, dan sampai sekarang belum pulang. Apa ayah lupa sama janji ayah dulu." Tanpa sadar air mata meluncur begitu saja, kupeluk erat foto berbingkai biru ini.

"Kak Rain!" Suara cempreng itu membuat lamunanku terputus, segera kuseka air mata yang sedari tadi berhasil membasahi pipi. Seorang gadis berusia 5 tahun berkuncir kuda berlari menghampiriku dengan membawa jajanan.

"Eh, gak boleh lari-lari," tegurku pada sang gadis kecil, Rima.

Mata bulatnya menatapku heran, terlihat dari dahinya yang mengerut. Itu terlihat sangat menggemaskan, bibir yang sedikit mengerucut bertanda dia sedang berpikir keras. "Kakak, tadi nangis, ya?" tanyanya polos.

"Gak, kok! Tadi kakak Cuma kelilipan," jelasku dengan pura-pura tersenyum di depan gadis kecil ini.

"Hmm, Kak, ayo jalan-jalan," ajak Rima menarik tanganku.

Aku tersenyum dan mengiyakan ajakannya, mungkin dengan sedikit berjalan-jalan di bawah sisa hujan bisa membuatku merasakan adanya ayah di sini.

Dengan baju kaos hitam putih serta rok panjang, aku dan rima menelusuri jalanan yang masih basah. Hawa dingin masih begitu terasa, mungkin karena aku hanya mengenakan baju berlengan pendek. Sementara Rima terlihat begitu nyaman dengan jaket kecil dengan topi kelinci miliknya yang begitu lucu.

"Kak, Rain! Liat itu!" Rima menunjuk kerumunan orang-orang. Aku menatap dengan bingung, ada apa di sana? Apa mungkin ada orang kecelakaan. Rima menarik ujung bajuku untuk mengajak ke kerumunan, tapi kujelaskan terlalu susah untuk melihat apa yang terjadi, takutnya nanti malah kami akan terhimpit orang-orang.

"Kita beli es krim aja, ya. Nanti baru kita liat ada apa di sana," bujukku sembari menarik tangan Rima pelan menuju toko es krim.

"Gak mau!"

Ketika Sajak Bercerita Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang