Sena dan Seno

0 0 0
                                    

Aku menatap Seno dengan tatapan yang kurasa paling sinis. Namun, laki-laki itu terlihat biasa-biasa saja setelah tadi menabrak pagar sekolah, dan membuat Pak satpam harus memberikan ceramah pagi-pagi.

"Kalau mau mati jangan ngajak-ngajak," sungutku sembari menjewer telinga Seno pelan. Seno terlihat meringis menahan sakit, padahal aku tahu dia hanya pura-pura kesakitan. Tangannya bergerak berusaha melepaskan jeweranku, tapi tidak semudah itu.

"Kak Sena ...," rengeknya membuatku geli sendiri. Aku dan Seno adalah anak kembar, kami berdua lahir hanya berselang lima belas menit duluan diriku. Meski begitu, Seno sama sekali tidak mau memanggilku dengan sebutan kakak, katanya karena cuma beda beberapa menit. Nah, kalau dia sudah memanggilku dengan sebutan kakak, pasti ada kemauan di balik kebaikan.

"Ya udah, tapi nanti aku lapor Papa buat uang jajan kamu dipotong." Aku tertawa pelan saat Seno sudah menampakkan raut masam. Ia berlalu begitu saja tanpa menatapku lagi.

"Pulang sekolah tunggu aku di parkiran, awas aja kalo kamu malah pergi nganterin pacar kamu!" seruku sebelum Seno benar-benar hilang ditelan belokan koridor.

Ketika jam pulang sekolah tiba, aku langsung menuju tempat parkir di mana motor milik Seno tadi berada. Namun, saat tiba aku malah tidak menemukan motor vespa dengan stiker nama Seno. Anak itu benar-benar menyebalkan, seperti minggu lalu, dia pasti sedang asik mengantar pulang pacar tersayangnya. Tak lama ponsel yang berada di saku seragamku berbunyi, nama Seno berkedip-kedip di layar.

"Halo, Na. Aku pulang duluan sekalian nganterin Talita, kamu pesan ojek atau nebeng temen aja. Hati-hati, assalamualaikum." Tidak memberiku waktu untuk menjawab, telepon langsung dimatikan oleh Seno. Aku hanya dapat mencebikkan bibir sebal.

Akhirnya aku jatuh pada pilihan terakhir, menebeng teman, kebetulan Rio—salah satu teman kelasku yang cukup dekat—juga belum pulang. Tanpa aku katakan, Rio sepertinya sudah peka jika aku lagi-lagi ditinggalkan oleh Seno. Di tengah jalan, aku mengajak Rio untuk berhenti sebentar di tempat makan pinggir jalan.

Bunyi notifikasi beruntun dari ponsel membuat acara makanku sedikit terganggu. Tepat ketika ponsel menyala, pesan yang berasal dari Mama telihat menumpuk. Jantungku seolah berhenti berdetak saat membaca pesan itu, begitu saja air mata meluruh tanpa kuminta.

Rasanya begitu sulit meminta Rio mengantar ke rumah sakit, tapi sepertinya Rio lagi-lagi paham situasi. Ia segera menuntunku menuju motor.

Hingga motor yang aku dan Rio kendarai berhenti di depan sebuah rumah sakit. Mengangguk singkat pada Rio, aku bergegas menuju ruang  yang telah diberitahu Mama. Air mataku terus mengalir menahan sesak yang sangat menyiksa. Kulihat di depan ruangan, Mama menangis dalam pelukan Papa yang wajahnya terlihat begitu kusut.

"Ma, Pa ...." Tangisku pecah begitu saat Mama menarikku dalam pelukannya. Aku menggeleng sembari memukul pelan dadaku berharap sesak itu sedikit berkurang. Rasanya baru tadi aku berbincang dengannya, tapi sekarang dia telah terbaring pucat tanpa dapat bangun lagi.

"Andai tadi Seno pulang sama aku, mungkin Seno gak bakal kecelakaan," lirihku yang dibalas dekapan lebih erat dari Mama.

Ternyata kalimat 'aku pulang duluan' tadi untuk selama-lamanya, tanpa pernah dapat kuraih lagi. Perpisahan nyatanya akan datang kapan saja, entah diminta atau tidak.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 24, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ketika Sajak Bercerita Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang