Mataku menatap sendu bingkai foto yang aku genggam. Enam pelajar yang terdiri dari dua laki-laki dan empat perempuan itu tersenyum manis dalam bingkai. Salah satu pelajar itu adalah aku.
Foto ini diambil lima tahun lalu, ketika aku dan teman-temanku masih kelas 10 SMA. Semenjak lulus SMA kami sudah jarang bertemu, bahkan bisa dibilang tidak pernah lagi.
"Bagaimana kabar mereka sekarang?" Aku bertanya pada diri sendiri. Ingatanku langsung saja terisi semua kisah kami dulu.
***
"Woi, buruan!" teriak Reno pada kami berlima yang baru saja tiba.
Saat ini kami berenam ada di gerbang belakang sekolah. Aku, Nina, Sindi, Yura, dan Kano datang terlambat ke sekolah. Semua ini karena Yura semalam mengajak nonton drama Korea sampai harus begadang, sedangkan Kano hanya ikut-ikut saja datang terlambat. Katanya biar jadi sahabat setia.
Untung saja Reno sudah datang lebih awal dan entah bagaimana bisa mendapat kunci gerbang belakang.
"Ayo, buruan! Nanti kita ketahuan," ujar Yura yang ada di belakangku. Dapat kurasakan dorongan kecil darinya sebagai kode untuk lebih cepat.
"Santai, Bu Aya gak bakal makan kita," celetuk Kano yang sekarang sudah ada di sampingku.
Kebetulan ini adalah hari Senin, jadi kami bisa menyelinap masuk kelas di saat semua orang sedang upacara. Ah, aku tahu ini salah. Namun, daripada kena hukum Bu Aya membersihkan toilet, lebih baik aku ikut temanku menyelinap. Anggap saja sebagai kenakalan kecil waktu SMA.
Tepat ketika Reno membuka pintu kelas, mataku terbelalak kaget. Di meja guru telah duduk Bu Aya dengan senyum mautnya. Gawat, kami berenam ketahuan.
"Hebat, ya! Telatnya berjamaah," ujar Bu Aya yang sepertinya akan marah.
Setelah hampir setengah jam mendengar nasihat dari Bu Aya, kami berenam diberi hukuman membersihkan toilet siswa.
"Eh, si Kano mukanya tadi kayak orang dikejar anjing," tutur Nina yang langsung membuat tawaku meledak. Kano itu orangnya paling tidak suka diledek, cuma Nana yang berani meledeknya.
"Lah, mending muka gue gitu, lo tadi lebih parah kayak orang lihat setan," balas Kano tak terima.
"Gak usah banyak omong, ini nanti gak sampai-sampai toiletnya." Aku dapat melihat Sindi, Yura, dan Reno mengangguk setuju.
"Eh, kita foto dulu bentar. Buat kenang-kenangan," ajak Yura ketika di persimpangan menuju toilet.
"Terus yang fotoin siapa?" Aku bertanya dengan menatap mereka satu persatu.
"Selfie aja, si Reno suruh pegang hp. Dia 'kan tinggi," jawab Nina sembari menyerahkan ponselnya ke Reno.
Aku mengangguk, kemudian segera mengambil posisi di belakang Sindi. Kami melakukan banyak pose dengan alat pembersih sebagai hiasan. Beberapa kali terdengar tawa Nina yang cekikikan melihat pose-pose yang kami buat.
****
Aku terkejut ketika tepukan ringan terasa di bahu. Menoleh perlahan, wajah ibuku langsung tertangkap mata. Kulihat ibu mengernyit bingung. "Ngapain?" tanyanya.
Aku hanya tersenyum sambil menunjukkan foto yang sedari tadi kugenggam.
"Kangen mereka?" Ibuku bertanya lagi.
"Iya, Silla kangen banget sama mereka. Banyak kenangan berharga dan berkesan Silla habiskan sama mereka, Bu," jelasku pada Ibu dan dibalas anggukan pelas.
"Kamu bisa ajak mereka kumpul lagi. Kenangan memang tidak bisa diulang, tapi kita bisa membuat kenangan baru," tutur Ibuku.
Aku tersenyum setuju, aku akan mengajak mereka berkumpul nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Sajak Bercerita
RandomHanya cerita pendek dan sedikit bait bersajak. Saya adalah luka, perihal hidup dan rasa. Saya adalah bahagia, perihal dunia dan tawa. Saya adalah segala, menutupi semua sampai tak terhingga.