Mobil terhenti di sebrang rumah, siap masuk ke garasi kalau memang Arian sudah membukakan gerbangnya. Namun, saat Arian ingin melepas sabuk pengaman, Firda lebih dulu menahannya, buat Arian sontak kaget, menoleh membelalak yang lekas matanya terpaut pada mata Firda.
“Lo kenapa gak cerita apa-apa soal Gita?”
“Eng...” jelas Arian bingung, jawabannya memang sudah pasti karena memang mereka sudah tidak pernah berkomunikasi lagi, yang buat Arian makin bingung, kenapa Firda menatapnya seperti itu. “G-gue bukannya gak mau cerita, tapi kan emang kita... m-maksud gue, gue umm, gitu, kita jarang ngobrol, dan karena.. Ratih bilang lo udah nolak dia, makanya gue juga gak cerita ke elo karena gue kira lo juga males ngeladenin lo.”
“Ya tapi kalo akhirnya jadi nyusahin lo-”
“Gue gak ngerasa dia nyusahin kok.” Arian menyela, buat Firda mengerutkan kening. “Y-ya emang risih jadinya, tapi Ratih sama yang lain juga bantu gue, jadi yaa, gak masalah. Dia juga udah gak pernah ngehubungin gue lagi.”
“Terus tadi? Di kantin itu apa?” tanya Firda lagi, seperti tidak mau memberi kelonggaran apapun untuk Arian. Tapi Arian malah jadi diam, membuang muka menghindari tatapan Firda yang terasa makin mengintimidasi. Matanya merilik, melihat tangan Arian saling mengait erat. Tarikan napas dalam Firda ambil perlahan, dihembuskan sampai suara hembusannya terdengar jelas. Ia menarik punggung dan kembali siap dengan kemudi. “Buka pagernya.”
“Hm.” Hanya sekadar sahutan, cepat-cepat Arian lepas sabuk pengamannya dan turun, membuka pagar dan lekas masuk rumah. Siang itu tidak menunggu Firda memasukan mobilnya lalu ia kembali menutup pagar, malah langsung masuk dan meminta tolong Intan yang belum pulang untuk menutupkan pagarnya.
Bayangan soal di kantin dan keributan yang dibuatnya masih terbayang jelas di pikiran Firda. Ia sendiri tidak menyangka kalau ia seberani itu bisa sampai menyiram adik kelas. Tapi memang entah kenapa Firda merasa kesal. Jadi kesal yang sudah diubun-ubun akibat dari bullyan teman-temannya dan ditambah soal Gita ini Firda lampiaskan ke hal yang seharusnya tidak ia lakukan. Mungkin besok ia dipanggil ke Ruang Guru karena menyiram adik kelas. Meski sudah ada nyanyian Selamat Ulangtahun, tapi kalau Gita sampai mengadu, tetap saja Firda yang ada dalam masalah.
“Eh Mas, tadi Ibu nelpon.”
“Kenapa?” Firda hanya bertanya singkat, melempar tas ke sofa dan ikut membanting dirinya di sofa juga. “Ibu bilang kapan pulang?”
“Kalo itu gak bilang, cuma tadi Ibu nyuruh ngingetin Mas Firda hari ini ke Rumah Sakit, Mas Rian biar sama Om Herman aja katanya.”
“Ooh itu, terus udah bilang ke Rian?”
“Belom.” Jawab Intan agak ragu, nadanya juga melemah, “Tadi baru masuk langsung ke atas, gak sempet bilang apa-apa.”
Firda diam sejenak, memandangi layar tv yang belum menyala. “Ya udah nanti aku bilang. Mbak, bikin mie lah.”
“Eh? Nggak ah! Kemaren bukannya baru makan mie?”
“Mumpung gak ada Ibu.”
“Yo aku yang bilang ke Ibu.”
“Dih!” seketika ekspresi Firda berubah kesal, “Tukang ngadu.”
“Biarin, daripada aku yang kena marah Ibu. Udah tuh makan nasi aja, udah aku masakin lho, enak-enak, kamu mesti suka.”
“Gak.” Firda melengos, “Dah lah balik aja sana, gak ada Ibu tapi ada Mbak Intan sama aja cerewetnya.” Katanya dengan nada mengusir. Firda yang baru bangkit malah kena sabet lap dapur oleh Intan, untuk sesaat keduanya jadi ribut sampai Firda kalah dan memilih ke atas juga. Siang itu, Intan menang. Firda biarkan seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Kiss We Shouldn't Do (BL 20+) [COMPLETE]
General FictionMemulai sesuatu yang sulit dihentikan adalah keputusan yang salah. . . . ❀ 𝕆ℝ𝕀𝔾𝕀ℕ𝔸𝕃 ℂℍ𝔸ℝ𝔸ℂ𝕋𝔼ℝ ❀ Ada beberapa part bersifat 𝐑𝟐𝟎+, harap bijak dalam memilih dan membaca cerita. publikasi pertama : 1 Januari 2021 publikasi terakhir : 30 Ja...