“Gue pusing Ri.. kepala gue sakit banget.”
Suara klakson lekas menyadarkan lamunan Arian. Matanya melirik, sang ibu di kursi kemudi sedang mendumal kesal. Arian kini yakin ia sudah kembali pada kesadaran seutuhnya. Sesaat tadi, entah mengantuk atau ia memang sudah tertidur, kalimat yang pernah diucapkan Firda datang lagi pada ingatannya. Padahal sudah lama berlalu, lumayan lama.
Hari ini Arian benar-benar menemani Wiji untuk pergi berkunjung yang mungkin masih kerabat Wiji juga. Pagi tadi ayahnya pergi bersama Alena, katanya mau berenang, kalau Firda, Arian tidak tau Firda kemana. Sejak melek mata sampai ia berangkat, ia tidak lihat Firda. Katanya sudah pergi sejak pagi-pagi sekali. Arian heran dengan satu itu, biasanya Firda yang paling sulit bangun pagi.
Di depan rumah sudah ada tenda, Arian yakin itu bukan tenda untuk nikahan, karena sama sekali tidak ada hiasannya. Atau mungkin belum? Kalau belum, harusnya bangku-bangkunya juga belum ditata serapih itu di bawah tenda. Mungkin acara lain, entahlah. Arian hanya ikut untuk menemani Wiji seperti kata ibunya waktu itu.
Kehadiran Wiji ternyata benar-benar disambut baik, tuan rumah begitu ramah. Ia ibu paruh baya, terlihat lebih tua dari Wiji, tapi memang ramahnya bukan main. Bahkan pada Arian yang baru pertama kali bertemu saja sudah seramah itu. Pantas saja Wiji waktu itu mengatakan kalau tuan rumah yang ternyata si Tente Dewi ini orang yang baik.
“Ini Arian, anakku juga. Anak dari bapaknya. Tadinya aku mau ngajak Alena juga, cuma dia ada renang hari ini jadi aku ngajak Arian aja.”
“Rian, Tante.” Arian mengembang senyum, lalu menyalimi tangan Dewi. Dan lagi, lengan atas Arian dielus-elus Dewi.
“Ini? Seumuran Firda ya?”
“Iya, sekolahnya juga bareng kok. Kebetulan aja ternyata seumuran, cuma beda bulan doang ya Yan?”
“Iya Bu.”
“Kalo yang kecil masih empat tahun, nanti deh kapan-kapan aku ajak. Atau kamu aja lah yang main ke rumahku. Udah lama banget kan?”
“Iya, iya, iya. Kita masuk dulu aja yuk, gak enak malah ngobrol disini.” Senyum Dewi mengambang lebar, “Ayok masuk juga.”
Tidak ada hal lain selain senyuman dan anggukan yang bisa Arina berikan pada Dewi. Ia mengekori kemana Wiji dan Dewi melangkah, masuk ke rumah. Ternyata ke adaan di dalam tidak begitu ramai seperti di luar, tapi masih banyak makanan yang terhidang. Arian masih belum mengerti ada acara apa sebenarnya di rumah ini sampai mengundang Wiji dan Firda. Yaa, memang bukan Firda sih yang datang, malah Arian.
Obrolan sesama ibu-ibu ini masih berlanjut, Arian hanya diam mendengarkan duduk di samping Wiji dengan tenang. Matanya berkeliling mengamati isi rumah. banyak pajangan-pajangan keramik, dan beberapa foto yang dipajang dalam bingkai. Ada foto keluarga, yang segera bisa Arian ketahui Dewi ini punya tiga anak, dua laki-laki dan yang paling bungsu perempuan.
Senyumnya agak mengembang, lucu. Ya Arian merasa lucu saja, dulu keluarganya hanya ada ia, ayahnya dan adiknya, kini keluarganya sama persis seperti keluarga Dewi. Ada ayah, ibu, dua anak laki-laki dan satu anak perempuan yang paling kecil. Benar-benar mirip. Menyadari itu buat Arian merasa lucu sendiri. Pernikahan kedua dan memiliki saudara tiri bukanlah hal yang buruk. Itu kalau Arian lupa tentang bagaimana perlakuan Firda, kalau ingat, ya tidak bagus juga.
“Arian, jangan diem aja. Ayo dimakan. Ini kuenya untuk dimakan loh bukan untuk pajangan.”
Arian cekikikan, “Iya, Tante. Nanti Rian makan.. umm, Rian boleh ke toilet?”
“Ya boleh dong, masa nggak?” jawab Dewi seraya bangkit, Arian dan Wiji hanya tertawa lucu mendengarnya. “Ayok sini, yang di kamar Rivan aja.”
KAMU SEDANG MEMBACA
The Kiss We Shouldn't Do (BL 20+) [COMPLETE]
Ficción GeneralMemulai sesuatu yang sulit dihentikan adalah keputusan yang salah. . . . ❀ 𝕆ℝ𝕀𝔾𝕀ℕ𝔸𝕃 ℂℍ𝔸ℝ𝔸ℂ𝕋𝔼ℝ ❀ Ada beberapa part bersifat 𝐑𝟐𝟎+, harap bijak dalam memilih dan membaca cerita. publikasi pertama : 1 Januari 2021 publikasi terakhir : 30 Ja...