⚜ 07 ⚜

8.9K 858 67
                                    

Mungkin Arian sudah gila, hilang kesadaran dan kewarasannya. Arian pikir begitu, tidak pernah berubah, padahal hingga kini sejak kejadian waktu itu, seperti tidak terjadi apa-apa. Tapi, Arian tetap berpikir ia sudah benar-benar kehilangan akal sehatnya.

Sejak malam Arian menerima ciuman dari Firda, keduanya berlagak tidak ada yang terjadi, Arian juga tidak mempermasalahkan, bahkan hubungan keduanya kembali seperti sedia kala; tidak akrab. Tidak ada yang protes atau malah mengungkit, tidak ada, seperti tidak ada yang terjadi.

Buku bacaannya disimpan dalam laci meja belajar, menarik punggung untuk bersandar dan terakhir menghembuskan napasnya perlahan. Masih jelas di bayangan Arian, tidak bisa hilang, bayangan sejak pertama ia bertemu Firda hingga tadi saat makan malam. Tidak ada yang bisa Arian lupakan, semua tergambar jelas dalam ingatan.

Tok Tok

Arian sontak menoleh, “Ya?” tapi sama sekali tidak ada sahutan apapun. Memaksa Arian yang sedang santai setelah semua tugasnya selesai jadi harus bangkit dan melenggang ke pintu, mencari tau siapa yang mengetuk. Tapi, sama sekali tidak ada orang. “Le?” dan Arian pikir bukan Alena, adiknya itu tidak pernah mengetuk pintu, terbiasa menyelonong begitu saja.

Kepalanya ditolehkan ke kiri, sepi seperti biasanya, tapi Arian bisa lihat kalau pintu kamar Firda tidak tertutup. Kakinya melangkah ragu untuk keluar kamar, pikir Arian, mungkin ketukan tadi memang panggilan untuknya dari Firda. Jadi tanpa mengurungkan niatnya sama sekali, ia melenggang ke kamar Firda, melongok mencari sosok Firda yang lagi-lagi Arian temukan sedang tiduran di sofa, bermain game. Suaranya terdengar keras.

“Elo ngetok pintu?”

“Hm.” Sahut Firda tanpa menoleh seidkit pun. “Tutup, tutup.” Dan titahnya kemudian.

Arian menurut, ia menutup pintu kamar Firda dengan dirinya ikut masuk, melangkah mendekat dan duduk di tepi kasur Firda. “Kenapa?”

Namun Firda sama sekali tidak menjawab, malah maskin serius bermain game, mengabaikan Arian sepenuhnya. Arian tetap disana, duduk menunggu Firda menyelesaikan gamenya dulu. Rasanya seperti sudah jadi kebasaan Arian untuk mengamati sekitar, karena Firda juga sedang asik sendiri, Arian memanfaatkan waktunya untuk mengamati kamar Firda lebih dalam lagi. Berbeda dengan kamar di rumah lamanya, di kamar Firda yang ini sama sekali tidak ada foto yang terpajang, bahkan foto bersama mendiang ayahnya saja tidak ada.

Berbeda pula dengan kamarnya, kamar Firda ada kamar mandi di dalam. Sebenarnya bisa saja Arian mendapatkan kamar serupa kamar Firda, namun Arian menolak, ia memilih kamar tengah yang tidak ada kamar mandinya. Waktu ditanya kenapa, jawaban Arian simpel, Arian tidak suka mendengar suara air menetes tengah malam. Padahal belum tentu juga ada suara air. Jadi kamar tengah yang tadinya diperuntukan untuk kamar Alena kini jadi kamar Arian, dan kamar Alena ada di kamar paling ujung, ya meski untuk sekarang lebih terlihat seperti kamar menyimpan segala mainan Alena, karena Alena masih tidur bersama Wiji dan Doddy.

Dan kalau bicara mengenai kenyamanan, jelas kamar Firda ini sangat nyaman, semua ada dan tersedia, malah mungkin bisa buat malas ke luar kamar karena saking nyamannya, namun yang buat Arian bingung, kenapa ada masa dimana Firda tidak nyaman berada di kamarnya ini? Sampai harus menumpang tidur di kamarnya. Arian rasa ada hubungannya dengan kesehatan mental Firda, tapi entah apa, dan kenapa? Arian belum mencari tau sejauh itu, pun Wiji juga terlihat enggan becerita lebih lanjut tentang Firda.

“Kenapa? Mau tukeran kamar?”

“Eh?” Arian sontak menolah, mendapati Firda sudah duduk tegak dan tidak memainkan handphonenya lagi. “Nggak... gue cuma merhatiin kamar lo doang.”

“Hmm.” Sahutnya. Firda bangkit dari sofa, melanggang mendekati Arian yang sekali lihat pun orang-orang akan sadar kalau Arian ini terlihat gugup. Firda tetap melangkah mendekat, lalu duduk di samping Arian, dan kembali merebahkan diri lagi. “Tugas-tugas lo udah?”

The Kiss We Shouldn't Do (BL 20+) [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang