⚜ 18 ⚜

6.8K 602 100
                                    

“Nanti bilangin ke Firda suruh jemput Ale ya Yan.”

“Iya Bu.”

“Pulang agak siang, karena lagi acara apa gitu disana, ada lomba-lombanya. Kalo Firda masih di kamar bangunin aja.”

“Iya Bu.” Sahut Arian lagi, senyumnya dikembangkan lucu.

“Yaudah, Ibu berangkat. Jangan lupa lo Yan.”

“Iya Ibuu. Biasanya juga kita yang jemput. Ibu tenang aja, gak bakal lupa.”

Gantian malah Wiji yang cekikikan, didorong Arian untuk lekas berangkat kerja. Habis memang Wiji berulang-ulang memberitau hal yang sama setiap harinya, yang padahal sudah setiap hari pula Alena dijemput oleh Firda dan Arian.

Masih dalam masa libur menjelang masuk kuliah. Arian dan Firda seketika menjadi pengangguran. Terutama Firda. Tiap hari bangun siang, tidur terlalu larut, kerjanya hanya makan, tidur, leha-leha, keluar paling hanya untuk menjemput Alena, atau saat teman-temannya mengajak kumpul, selepas itu yaa seperti kegiatan awal, makan, tidur, leha-leha.

Kalau Arian, ia masih mengikuti les Bahasa Inggris, meski hanya dua kali dalam seminggu, tapi setidaknya masih ada kegiatan lain selain makan, tidur dan leha-leha. Apalagi soal makan, tiap kali ada camilan nganggur keduanya langsung melahab tanpa kenal teman. Kadang sengaja beli camilan yang banyak. Pun Wiji juga memanjakan keduanya, tiap pulang kerja selalu bawa makanan, soal berat badan? Sudah pasti naik. Terutama Arian, kali ini.

Sudah sebulan lebih keduanya menganggur di rumah, masuk kuliah masih lama. Liburan tanpa kegiatan berarti menjadikan keduanya membabi, ya, makan terus. Kadang tengah malam terbangun karena ingin mengemil, meski mengantuk Arian tetap turun mencari makanan dan dibawa ke kamar, setelah puas, tidur lagi. Kalau Firda sebenarnya masih lebih mending karena rasa ingin mengemilnya tidak sebesar Arian. Firda juga agak bingung kenapa Arian bisa segitu lajunya soal makanan, padahal dulu tidak. Tapi yaa, tidak masalah juga untuk Firda, saat tau Arian agak gemukan, Firda senang juga, karena artinya ia bisa menyantap Arian yang lebih kenyal. Oke. Itu hanya pikiran kotor Firda.

Kakinya melangkah cepat, setengah berlari ke kamar paling pojok, kamar Firda. Pemilik kamarnya masih terlelap pulas di balik selimut, AC masih menyala, kamar juga masih gelap, padahal sudah jam sepuluh. Bukan hal aneh, justru yang aneh kalau Firda bangun lebih pagi. Itu sangat aneh.

“Fiir, bangun. Nonton yuk, pulangnya jemput Ale. Fir.”

“Hmmm.” Firda hanya sekadar menyahut. Masih sangat mengantuk, malas bangun, Firda juga tidak peduli Arian sudah ikut menyelinap ke bawah selimutnya dan menduselinya gemas.

“Fir.”

“Apaan sih Yan? Gue mau tidur, ngapain nonton pagi-pagi coba?”

“Yaudah jalan. Yuuk, di rumah terus kan bosen Fir. Lagian, selagi kita masih bareng loh, nanti pas lo di Jogja kita gak bisa jalan. Yuk. Fir, ayook!”

“Tck!” Firda mendecak kesal, membuka selimutnya paksa, lekas menemukan Arian yang mengembangkan senyumnya lebar. “Harus ya pake alesan itu?”

“Ya abis pake alesan apa lagi?” dan cengirnya makin lebar, ikut bangkit duduk berhadapan dengan Firda. “Yuk. Atau makan deh. Yuuk. Fiir! Firdaa ayook.” Arian makin keras mendorong-dorong bahu Firda, buat Firda makin kesal tapi akhirnya membalas menjauhkan Arian. Lagi-lagi Arian hanya memengbang cengiran lebar.

“Gue gak mau nonton, males.”

“Makan!”

“Yaa, yaa, terserah. Tapi nanti dulu kek, gue masih ngantuk banget, Yan.”

“Yah! Elo tiduran sampe jam 12 juga bilangnya masih ngantuk. Mandi gih, biar ngantuknya ilang.”

“Hmm. Nanti... nyawa gue belum kekumpul.” Alasannya lagi, sukses buat Arian melengos pasrah, Firda hanya mengembang seringai. “Lagian tumben banget sih lo ngajak jalan. Ada apa? Ada angin apa? Kesambet lo?”

The Kiss We Shouldn't Do (BL 20+) [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang