Dunia Nauren

8 3 0
                                    

Banyak yang meragukanmu, tapi kamu harus tetap berjalan.

Seorang wanita dengan rambut yang dikuncir seperti ponny tail berjalan dengan penuh keyakinan. Menghentikan langkahnya dan menarik seulas senyum dengan mata berbinar, menatap sebuah tulisan bertuliskan "Your Day". Ia memegang sebuah benda kesayangannya dan memasuki sebuah bangunan di depannya. Sebuah bangunan kecil dengan arsitektur kuno membuat siapa saja terpana melihatnya, di kelilingi berbagai alat musik dari seluruh dunia sejak pertama kali alat musik ditemukan.

Kedua matanya terpana menatap sebuah figura foto yang bertuliskan sebuah cuplikan lirik lagu, mengusapnya dan merasakan aura dari lirik lagu itu. Kini tak lama lagi semua itu terjadi. Ia menarik seulas senyum di kala seseorang dengan wajah tegas dan berwibawa itu tersenyum padanya. Walaupun ia sudah berusia senja namun wajahnya selalu terkesan dewasa, tak dapat dipungkiri ia selalu awet muda.

"Kamu sudah datang," sapanya.

"Aku tidak akan membuang kesempatanku lagi," sahut wanita itu. Lelaki di depannya tersenyum, lalu mengusap puncak kepala wanita itu.

"Ayo." Mereka masuk ke dalam sebuah ruangan. Berbagai alat-alat recorder membuat wanita itu terpana. Ini sudah kesekian kalinya ia datang ke tempat rekaman, hanya saja baru kali ini ia merasakan aura yang berbeda.

Wanita itu duduk di sebuah kursi dan memangku gitar kesayangannya. Memasang headphone di kedua telinganya. Tangan lentiknya mulai menjetikan senar-senar gitar dengan alunan yang sangat indah. Bibirnya mulai membuka mengucapkan sebuah lirik, mengikuti alunan gitarnya ia mulai bernyanyi.

***
Seorang gadis dengan seragam SMA tengah berlari dari kejaran para Satpol PP. Ia memanjat sebuah pagar rumah dan masuk ke dalamnya. Rumah kecil di ujung jalan yang jarang terekspos dunia luar menjadi tempat aman ketika ia bolos sekolah. Dan di sini ia bisa menghabiskan semua idenya dan mengolah mimpinya.

"Kakek," panggil gadis itu. Seorang lelaki yang sedang memotong tanaman menoleh ke belakang.

"Kamu membolos lagi?" tanya lelaki itu.

"Tentu saja. Aku bosan belajar terus," sahut gadis itu dan mengambil selang air lalu menyiramkannya pada tanaman.

"Apa kau tidak takut Ayahmu tahu?"

"Tidak."

"Toh Ayah tidak peduli padaku, ia hanya peduli dengan pekerjaannya," lanjutnya dengan rasa sesak menunjam di dadanya.

"Kamu tidak boleh begitu, ia bekerja juga untukmu."

"Aku tidak butuh banyak uang, aku hanya butuh kasih sayang." Gadis itu duduk dan mengambil gitar dari tasnya. Pria selaku Kakeknya hanya menghembuskan napas pasrah. Sifat gadis itu adalah turunan dari Ibunya, Kakek gadis itu duduk di depan cucunya.

"Kek," panggil gadis itu.

"Iya?" sahut kakeknya.

"Apa kelak aku bisa mewujudkan mimpiku? Dan bersinar seperti namaku?"

"Tidak ada usaha yang tidak berhasil jika kamu mencobanya. Berusaha dan berdoa adalah kuncinya. Hasil? Kamu serahkan pada yang kuasa. Dia Maha Tahu apa yang tidak kamu ketahui." Gadis itu tersenyum. Kakeknya adalah orang yang selalu bisa membuatnya tetap semangat dan tak akan menyerah. Semua perkataannya selalu terdapat pesan tersendiri di dalam perjalanan hidup gadis itu. Namun, siapa sangka jika itu adalah nasihat terakhir yang ia dengar.

***
Ting...

Gadis yang tengah berjalan di trotoar dengan lesu itu merogoh ponsel di saku hodienya. Sebuah notifikasi masuk dari seseorang berhasil membuatnya berdecak kesal.

"Hei, kamu membolos lagi Nauren!" teriak seorang gadis melalui pesan suara dari salah satu aplikasi pesan. Gadis itu menjauhkan ponselnya dari telinganya.

Berniat tidak mau membalas pesan, tiba-tiba ponsel gadis itu berdering. Mau tidak mau gadis itu harus mengangkatnya.

"Nauren Ket Nien! Dasar gadis gila!" teriak seseorang di seberang sana.

"Bisakah jangan berteriak, gendang telingaku terlalu mahal untuk mendengar ocehanmu," kesal gadis itu.

"Terserah ... Eh Ren, tadi Ayahmu datang ke sekolah mencarimu."

"Serius?"

"Dibilangin nggak percaya. Mentang-mentang aku belum naik haji."

"Terus ngapain aja?"

"Tadi sih kayaknya nemuin kepala sekolah. Kayaknya Ayah kamu udah tahu kalau kamu suka bolos deh Ren."

"Dia nemuin kamu nggak?"

"Tadi sih nyariin, tapi aku ngumpet di toilet. Tahu sendiri kan aku phobia sama Ayah kamu. Kalau ketemu bawaannya mau pingsan."

"Syukur deh. Ya udah aku mau pulang dulu."

"Hati-hati Ren, Ayah kamu kayaknya bakal marah deh."

"Udah biasa dia marah-marah. Nggak kaget aku."

"Oke, see you tomorrow." Nauren memutus sambungannya dan kembali berjalan pulang.

***
Nauren menatap pagar di depannya. Terkunci, Nauren menghembuskan napasnya pasrah.

"Hidup gini amat," batin Nauren sambil memanjat pagar untuk masuk.

Setelah membuka pintu utama dan hendak menaiki tangga. Suara berat seorang lelaki yang tengah duduk di sofa ruang tamu membuat Nauren memberhentikan niatnya.

"Darimana saja kamu?" tanya lelaki itu dengan intonasi tajam dan datar. Nauren berbalik dan menghembuskan napas lelah.

"Jangan kira Ayah tidak tahu kamu sering membolos ya!" lanjut lelaki itu dengan sedikit melantangkan suara.

"Ayah sudah tahu bukan? Lalu kenapa Ayah bertanya lagi?" jawab Nauren santai.

"Nauren! Ayah tidak pernah mengajarimu bicara seperti itu ya!" Lelaki itu berdiri dari duduknya.

"Ck, melihat anaknya tumbuh saja tidak pernah."

"Nauren!"

"Kenapa? Ayah tidak merasa Ayah gagal menjadi seorang Ayah yang seutuhnya?"

"Ayah bekerja keras itu semua demi kamu, Nauren!"

"Ck, percuma Ayah menjadi Ayah paling sempurna di luar sana. Tapi Ayah lupa jika dunia bisnis tidak bisa disamakan dengan dunia keluarga yang seutuhnya."

"Naurenㅡ"

"Aku butuh Ayah bukan butuh pembisnis." Nauren melangkahkan kaki menaiki tangga dan masuk ke kamarnya. Membanting tubuhnya di kasur empuk dan besar, lalu mendongak menatap langit-langit kamarnya.

"Bunda sampai kapan aku harus terpenjara seperti ini?" lirih Nauren.

Di sisi lain, Arwan terduduk lemah dan mengusap wajahnya kasar. Ia menatap figura foto seorang wanita yang tengah menggendong bayi dengan senyum manisnya di meja dekat sofa.

"Bisakah aku mendidiknya seorang diri? Bisakah aku menjadi Ayah sekaligus Ibu untuknya?" tanya Arwan pada foto itu.

"Kenapa kamu harus pergi secepat itu? Kenapa!" Arwan memeluk foto itu dan berusaha tidak membiarkan air matanya keluar bebas. Ia tidak boleh menangis.

Kedua sisi yang berbeda akan menjadi sama jika keduanya saling mengerti dan memperbaiki diri.

***
Penasaran nggak sama kisah Nauren? Boleh dong krisarnya. Sayang banyak-banyak buat readers tercinta❤️

#Project with Pra Kita
#Project Trilogi

Trilogi-Aku dan Waktuku (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang