Kakek Meninggal

20 6 20
                                    

Kedua kaki yang menopang gadis dengan rambut panjang hitam legam itu luruh ke tanah. Kedua matanya sembab dan otaknya masih menyangkal tidak percaya. Nauren langsung memeluk nisan yang bertuliskan Putra Tanangsang bin Aji Laksana, lahir 22 Desember 1947-meninggal 22 September 2015. Kini tidak ada lagi orang yang akan membantunya berdiri, bahkan mengusap air matanya. Sosok itu telah pergi dengan cantik, ia tidak sakit ataupun jatuh.

Ia hanya tertidur di tempat tidur lalu memejamkan matanya untuk selamanya. Tenang dan damai, bahkan saat akhir kematian ia masih tersenyum. Betapa cantik kematiannya membuat siapa saja heran. Terkecuali gadis berambut panjang itu, ia telah kehilangan orang yang sangat ia sayang, bahkan tanpa sepatah katapun sebagai ucapan perpisahan. Ini terlalu cepat baginya.

"Ikhlaskan Kakek, Ren," ucap Arwan.

"Ayah tidak tahu apa yang aku rasakan. Berhenti menenangkanku!" kesalku, aku berdiri dan berlari menjauh dari pemakaman. Ayahku menatap kepergianku. Lalu, ia menatap nisan Ayahnya.

"Apakah aku bisa menjaganya? Apakah aku bisa mendidiknya dengan baik?" batin Arwan dan tersenyum kecut.

***
Hari-hari berlalu seperti biasa. Semua terasa membosankan bagi Nauren. Ia hanya belajar di sekolah selama setengah hari, lalu les tambahan sepanjang sore, dan kemudian mengunjungi rumah Kakeknya sepulang les, terakhir ia akan pulang ke rumah yang selalu sepi itu. Ia menghembuskan napas lelah dan membanting tubuhnya di kasur.

Apakah setiap hari ia akan seperti ini? Hanya menuruti keinginan dan peraturan dari Ayahnya? Ia muak dan lelah, ia seperti tahanan dengan hukuman kurungan di rumah. Ia menatap langit-langit kamarnya, secercak kenangan manis itu datang tanpa permisi.

"Aku merindukanmu, Bunda." Ia mengusap air matanya dan berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

"Percuma kamu bergelimang harta dan fasilitas terjamin, tapi jika hatimu tidak bahagia dan kasih sayang itu hanya omong kosong akan membuatmu muak akan kehidupanmu."

"Ayah pulang," ucap seorang lelaki dengan setelan jas rapi yang sudah lumayan berantakan itu masuk ke dalam rumah.

Sepi dan gelap, seperti suasana kedua hati penghuni rumah. Ia menaiki tangga rumahnya dan masuk ke dalam kamar anaknya. Seorang gadis dengan piyama tidur bergambar Squidward itu tengah terbaring membelakanginya. Lelaki itu mengusap lembut surai anaknya.

Sesak di dadanya mulai menggerayanginya. Ia merindukan tawa anaknya dan rayuan meminta sesuatu padanya. Sekeras apapun dia, dia punya cara sendiri untuk menyayangi anak gadisnya.

Cupp...

Lelaki itu mengecup kening Nauren yang tengah terlelap itu. Satu tetes air mata turun tanpa permisi. Lekas dia keluar dari kamar anaknya dan menutup pintu pelan. Ia menarik napas untuk menyemangati dirinya sendiri.

Gadis itu membuka kedua matanya dan menatap pintu kamarnya. Ia menangis, lalu menyenderkan badannya dan memeluk bantal. Meredam tangisnya di bantal. Jujur, ia sangat menyayangi Ayahnya. Hanya saja ia punya cara sendiri untuk mengungkapkannya.

"Apakah semua rasa sayang harus dikatakan? Bukankah seharusnya dilakukan? Kenapa semua orang selalu melihat tanpa merasakan, berbicara tanpa berpikir."

***
Nauren menelungsupkan wajahnya dalam lipatan tangannya di meja. Seorang gadis yang berusia sepantaran dengannya berjalan bak model di red carpet mendekat ke arah Nauren yang duduk di bangku barisan nomor 2 dari pintu.

"Morning, Nauren," ucap gadis itu dengan senyum merekah. Nauren hanya membalas dengan berdehem saja tanpa berniat menatap gadis di sebelahnya.

Trilogi-Aku dan Waktuku (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang