"Aahhh, Januuuu, pleasee."
Aku mendesah keras, tidak kuat menaha sensasi nikmat yang menyerang diriku sampai tanpa sadar aku memeluk erat Janu dan menggigitkan gigiku di pundaknya ketika aku akhirnya mendapatkan orgasme untuk yang ketiga kalinya malam ini. tapi dibanding diriku yang sudah lemas, Janu masih saja tanpa lelah memasukkan penis besarnya kedalam diriku. Memerangkapku diantara dirinya dan tembok tempatku bersandar tanpa sekalipun mengeluarkan spermanya. Membuatku terus mendesah lagi dan lagi.
"Vaaa, ahhh"
"emmhhhh."
"Sempit banget Vaaa. Ahhhh."
Janu semakin mempercepat tumbukannya, membuat vaginaku terasa sangat penuh dan berkedut.
"Aku mau keluar lagi, Please Nuuuu."
"Barengg."
"Ahhhhhhh"
"Ahhhhahh"
Vaginaku berkedut nikmat, mengeluarkan banyak sekali cairan bercampur dengan sperma milik Janu yang merembes keluar dari celah diantara kemaluan kami yang masih menyatu hingga menuruni paha. Membuatku sangat lemas dan menurut saja ketika Janu membawa kami rebah ke kasur.
"Janu,"
Aku memeluk Janu yang memejamkan matanya disampingku
"Heem?"
Janu berkedip dan mulai memfokuskan pandangannya kearahku.
"Jangan jatuh cinta."
Kerutan di dahi Janu muncul dan dia menatapku bingung
"Eh, maksudku, jangan jatuh cinta dulu."
Aku tidak berani menatap Janu. Aku bahkan tidak tahu mengapa mulai membahas topik ini. ah, apakah seharusnya aku tidak mengucapkan kalimat itu? Kami baik-baik saja, maksudku, kami tidak ada apa-apa, hanya teman sejak lahir yang selalu satu sekolah sampai kuliah dan akhirnya menjadi teman ranjang juga. Harusnya aku tidak mengusik prifasinya, tapi, pikiranku tidak bisa berhenti memikirkan kejadian sore tadi, ketika Janu duduk di taman bersama seorang gadis lain yang membawa sebuket karangan bunga indah.
"A, aku.."
Rasanya kata-kata yang mau kuucapkan lagi tidak berhasil kukeluarkan karna mataku menatap mata Janu yang rasanya kali ini sangat mengintimidasi. Apa aku benar-benar sudah melewati batas?
Janu membuang nafasnya kasar seperti sedang menenangkan dirinya, apa dia sadar kalau aku merasa takut dengan tatapannya.
"Talks Ava, i'm not mad at you"
Aku menggigit bibir bawahku dan mulai menatap Janu yang untungnya sudah menatapku lembut.
"Aku cuma nggak mau kamu patah hati."
"Huh?"
"Kamu tau kan, kalo biasanya orang luar itu ngga pada mau komitmen, sedangkan kamu harus cari perempuan yang mau dinikahi dan bisa ngasih kamu keturunan demi penerus perusahaan keluarga kamu kan?"
Pelan, aku mengusap rambut Janu, tidak tahu kapan lagi bisa melakukan ini atau bahkan tidak akan pernah bisa lagi. Besok Janu akan terbang ke Amerika untuk melanjutkan kuliah S2 disana, dan aku tetap di sini dengan perasaan yang aku juga tidak tahu lagi harus diapakan.
"Jadi,"
Menarik nafas panjang, aku menguatkan diriku sebelum akhirnya berbicara panjang.
"Jadi aku takut kalo kamu entar jatuh cinta sama cewek disana, trus patah hati karna si cewe nga mau kamu ajak nikah."
Dalam hati, aku merutuki diriku yang sangat pengecut dengan mengatakan hal seperti ini. Tapi kali ini aku ingin menjadi seorang yang egois dengan memanfaatkan keadaan.
"Kenapa ngomongnya udah jauh banget sih."
"Buat jaga-jaga aja. Aku ngga mau lihat kamu sedih dan-"
"Syuuttt."
Telunjuk Janu menempel dibibirku membuatku berhenti berbicara.
"Apapun yang kamu kawatirin, semua itu ngga akan terjadi Va."
"Kamu kan ngga bisa tahu masa depan."
"Persetan dengan masa depan, yang penting aku bahagia saat ini."
"Janu."
"Stop Va. Kamu selalu aja mentingin orang lain tapi diri kamu sendiri aja ngga pernah kamu pikirin."
"Kamu nyerang aku balik?!"
"No. Aku cuma mau bilang kamu bahkan lupa kalo hari ini masa subur kamu dan kamu ngga sadar kalo aku ngeluarin di dalem kamu. Apa itu namanya kamu mikirin dirimu sendiri.!"
Aku megap-megap. Shit. Kenapa hal sesimpel ini aku bisa lupa. Bajingan! Kenapa juga Janu baru bilang!
Cepat-cepat aku memaksakan diriku bangkit dan memasuki kamar mandi, membuka semua kotak yang ada mencari obat yang biasa ku jadikan cadangan bila Janu tidak membawa pengaman.
"Pilnya udah aku buang semua."
Tatapanku bersibobrok dengan tatapan Janu di cermin. Tidak ada sedikitpun kekawatiran dimatanya dan itu membuatku benar-benar tidak tahu lagi harus bereaksi seperti apa selain menangis.
Pelukan Janu dari belakang bukannya membuatku semakin tenang malah semakin histeris.
"Shhh, Vaa,semuanya akan baik-baik ajaa."
"How could you! Gimana kalo aku ham- ahhhhh."
Kata-kataku belum selesai terucap ketika tangan Janu menggesek klitorisku. Ya Tuhan, kenapa disaat-saat seperti ini dia malah kembali menggodaku.
"Januu."
Tanganku mencengkeram tangan janu yang terus menggoda kemaluanku
"Kamu basah."
"Ahhhhaahhh Januu"
Hanya dengan itu penisnya sudah memasuki vaginaku, memenuhi celahnya dan membuatku bergetar.
"Liat ke cermin, apa kamu bisa bayangin ada perempuan lain yang gantiin posisi kamu? Perempuan lain selain kamu yang akan aku masuki?"
Aku menggeleng keras, merasa sangat malu memandangi diriku telanjang dan dimasuki di cermin, juga tidak ingin membayangkan ada perempuan lain selain diriku yang bersama Janu.
"Good, karena aku juga ngga mau hubungan kita hanya teman di ranjang Va. Aku mau kita teman dalam hal apapun. Understand?!"
Aku mengangguk lemah, tidak lagi bisa menahan desakan yang muncul ingin keluar didiriku.
"Kita bicara lagi nanti. Niatnya aku mau ngelamar kamu sambil dinner romantis malem ini, cincin sama bunganya udah aku pesen ke sepupuku dan dianter tadi, tapi aku udah ngga tahan. Aku mau hamilin kamu secepatnya biar semua orang tau kamu milik aku."
Ahhh,bajingan ini!
KAMU SEDANG MEMBACA
i am [One Shoot Completed]
Short Story[21+] #oneshoot ps. ini beneran mature content. hati-hati bacanya ehehe dan dari hati terdalam, beri aku semangat tambahan dengan vote dan komen yaa. love you #1 in #marry on September 22, 2021