Chapter || 05 Selesai Sampai Disini

85 5 1
                                    

Sekolah sudah terlihat mulai sepi aku berinisiatif untuk mengajak Aldi ketemu di taman sekolah. Dia bilang sepuluh menit lagi dia datang dan aku sudah duduk di bangku taman sejak tadi. Sabrina dan Raisa sengaja meninggalkan ku agar aku lebih leluasa bersama dengan Aldi.

"Ekhem, udah lama?" Ucapnya.

"Lumayan. Habis ngapain aja udah lebih dari dari sepuluh menit loh ini." Ucapku dingin.

"Tadi dipanggil keruang Osis. Diajak foto sama adik Osis." Ucapnya jujur.

Aku mengangguk mengerti.

"Kamu gak ngajakin aku foto?"

Aku menggeleng.

"Kamu kenapa sih?. Dingin banget hari ini."

Aku menatap dalam wajahnya yang teduh.

"Kamu sayang sama aku?"

Ia mengangguk.

"Kalau gitu kenapa lebih pentingkan adik Osis dari pada aku? Sebenarnya aku itu siapa ?" Pungkasku.

"Ya masa aku tolak gitu aja kan gak enak Sarah. Kamu harusnya ngerti dong"

"Sampai kapan aku harus ngertiin kamu sementara kamu sendiri gak pernah mengerti aku. Bahkan anggap aku ada aja enggak."

"Aku udah berusaha mengerti perasaan mu Sarah, apa pernah aku menuntut waktumu untuk selalu bersama aku?"

"Aku berjuang untuk masa depan ku Aldi, kamu juga begitu kan?"

"Mimpimu terlalu tinggi!. Kamu gak pernah mendengarkan omongan orang lain selalu saja semau mu." Suaranya naik satu oktaf.

"Aku tidak bisa Sarah selalu bertahan dengan kepura-puraan. Aku mencintaimu tapi orang tuaku tidak menyukai perempuan yang berprofesi seperti laki-laki." Ucapnya lagi.

"Toh setinggi apapun pendidikan mu setinggi apapun pangkat mu kamu tetaplah seorang perempuan yang takdirnya menjadi seorang ibu rumah tangga."

Aku menunduk sambil terisak.

"Baik kalau begitu kita memang udah gak ada kecocokan lagi. Lebih baik selesai sampai disini. Biar aku mengejar impianku yang menurutmu tidak pantas untukku" Ucapku. Terasa begitu berat untuk mengucapkan kalimat itu.

"Tapi Sarah, aku masih mencintai kamu."

"Cinta tanpa restu hanya akan menjadi beban. Maaf aku gak bisa hidup dengan peraturan orang tuamu."

Wajahnya berubah sendu. Aku tahu Aldi merasakan yang sama sepertiku. Tidak ingin berpisah namun keadaan tidak bisa dipaksa untuk bersama. Mungkin ini adalah akhir dari semua cerita cinta semasa SMA. Untukmu terimakasih sudah mengajariku apa itu luka dan betapa berartinya sebuah perjuangan. Kejarlah mimpimu biar aku kejar mimpiku sendiri.

"Terimakasih untuk semua suka dukanya kita sudahi sampai hari ini." Setelah aku mendeklarasikan itu aku menepuk bahunya sebagai salam perpisahan sebelum aku benar-benar meninggalkannya dalam keadaan tidak baik-baik saja. Aku tidak jahat hanya saja aku tidak ingin membuat luka terlalu dalam.

Aku pulang ke rumah dengan kondisi mata yang sembab untung saja rumahku sudah sepi. Aku langsung menuju kamar dan menelpon Sabrina untuk datang ke rumah ku bersama Raisa. Aku ingin berbagi beban kepada mereka hanya mereka saja satu-satunya tempat aku bersandar.

Setelah beberapa menit pintu rumahku diketuk. Aku masih diam ditempat tidur hanya mengirimkan pesan pada Sabrina untuk segera masuk.

Suara decitan pintu terdengar. Mungkin itu mereka. Pikirku.

"Sarah lo nangis?" Pekik Raisa.

"Kenapa lo. Bilang sama gue siapa yang bikin lo nangis?"

"Aldi." Ucapku lirih.

"Sudah gue duga." Sabrina menghela nafas.

"Gue putus sama Aldi."

"Hah!?.. serius lo kenapa emang." Raisa memekik lagi.

"Ternyata bener yang lo bilang Brin. Aldi emang gak baik buat gue." Aku mengusap air mataku.

"Itu alasan gue ngelarang lo sama dia. Karena gue tahu dia dan keluarganya."

"Bagaimana bisa lo tahu?" Tanyaku.

"Aldi sepupu gue. Dan tante Vena gak pernah suka sama keluarga gue karena ayah gue jadi abdinegara." Ucapnya.

"Apalagi ketika tante Vena tahu kalau gue mau jadi kowad. Semakin menjadi kebenciannya terhadap keluarga gue." Jelasnya.

"Jadi itu alasannya lo selalu berantem sama Aldi?"

Sabrina mengangguk.

"Maafin gue Brin, gue gak dengerin omongan lo." Aku merasa bersalah.

"Udah santai aja. Sekarang lo udah tahu sendiri kan gimana Aldi dan keluarganya."

"Udahlah jangan terlalu sedih berlarut. Lo harus berjuang untuk kebahagiaan lo. Buktikan kalau lo bisa." Kini Raisa bersuara.

"Terimakasih ya kalian. Selalu ada buat gue. Terimakasih untuk waktu yang kalian luangkan buat gue." Ucapku.

*

Hari-hari berikutnya aku masih memikirkan tentang Aldi. Rasanya seperti mimpi kita sudah mengakhiri hubungan ini.

"Ayo Sarah fokus! Larinya dipercepat lagi." Ucap coach Indra saat kami sedang latihan binsik di stadion.

Aku berusaha lari sekencang mungkin namun kali ini aku menyerah tidak bisa sampai di garis finish.

Aku menjatuhkan diriku. Lalu coach Indra menghampiri ku dan menepuk pundak ku.

"Kamu kenapa Sarah?, tidak biasanya seperti ini." Ucap Coach Indra.

Aku menunduk.

"Memang salah ya coach kalau perempuan ingin jadi TNI?" Untuk pertama kalinya aku berbicara tentang hal pribadi kepada coach Indra.

"Enggak nak. Wanita juga bisa menjadi TNI karena kita sudah hidup di zaman era baru. Kedudukan wanita sudah setara dengan laki-laki namun tidak merendahkan laki-laki."

"Gak ada yang salah selagi kamu mau berjuang dengan sungguh-sungguh. Jangan dengarkan perkataan orang lain karena mereka hanya bisa berkomentar tanpa tahu prosesnya."

"Kuncinya adalah lebih giat lagi berlatih karena balas dendam terbaik adalah dengan membuktikan keberhasilan kita." Ucap coach Indra menasehati.

Aku sedikit terketuk dengan perkataan coach Indra.

"Terimakasih coach."

"Kalian ini murid saya yang paling ambisius untuk mengejar cita-cita. Saya bangga sekali kepada kalian." Ucapnya mengapresiasi kami.

"Kalau melihat kalian begitu gigih berlatih saya menjadi ingat anak saya dikampung. Dia juga sama seperti kalian ambisius dia akan melakukan segala hal dengan usahanya sendiri."

"Anak coach Indra di kampung? Kenapa gak ikut kesini coach?" Tanya Sabrina yang baru saja menyelesaikan larinya.

"Dia ingin mandiri katanya. Padahal dimata saya dia masih anak kecil yang masih perlu pengawasan dari saya. Namun ia lebih memilih mencari pengalaman sendiri."

"Kalau boleh tahu anaknya coach Indra cewek atau cowok?" Tanya Sabrina lagi.

"Kok jadi kepo sih. Ayo fokus latihan seminggu lagi seleksi lho." Ucap coach Indra mengalihkan pembicaraan.

Aku memantapkan diri untuk lebih giat berlatih agar bisa membuktikan kepada semua orang bahwa aku bisa. Patah hati membuatku lebih bersemangat untuk menggapai impianku dan membuktikan pada dunia bahwa aku adalah orang hebat diantara yang hebat. Aku tidak ingin lagi berhubungan dengan perasaan yang mengalihkan fokus ku dalam perjuanganku. Aku akan mulai berjuang dengan harapan yang terbentang didepan mata.

_________

Hallo teman-teman Akhirnya Sarah putus juga sama Aldi yuhuuu. Saatnya Sarah berjuang untuk akademi militer:")

Terimakasih untuk pembaca yang masih membaca hingga part ini. Maaf sekali tidak bisa sesuai ekspektasi kalian. Tujuan saya menulis hanya sekedar hobi tidak untuk mendapatkan ketenaran. Intinya saya tidak memaksa untuk dibaca kalaupun anda semua suka ya Alhamdulillah kalaupun tidak silahkan delete sesimpel itu kok gak perlu berkomentar dengan perkataan yang menyakiti dan bikin down.

Ini Aku, dan MimpikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang