Amarah

78 16 2
                                    

Malam mingu, pukul dua pagi.
Seseorang memasukan kunci lalu dibukanya pintu dengan perlahan.
Suasana rumah tampak sepi, hanya lampu luar yang dinyalakan. Ini sudah terlalu pagi. Udara diluar cukup dingin, membuatnya sedikit mual dan terasa pusing.

"Abis dari mana, Bu?" tegur pak Rahmat yang sedang duduk di kursi dengan suara yang mengagetkan.

"Loh, Pak! Bukannya bapak mau ke Ngawi?" tanyanya refleks dengan tubuh yang sedikit tersentak.

"Ketinggalan kereta," jawabnya singkat.

"Yaudah, Pak! Aku mau ganti baju dulu." dengan segera dia membalikan badan hendak menuju kamarnya.

"Jawab dulu pertanyaanku, Bu!" bentak Pak Rahmat berdiri dari duduknya.

"Aku capek pak!" ia terus berjalan tanpa menoleh.

"Bu! aku ini suamimu. Aku berhak tahu!
Apa pantas seorang perempuan pulang jam segini?" teriak pak Rahmat, membuat bu Rosa berhenti dan membalikan badan.

"Hah! Kamu berhak tahu pak!." balas sang istri lebih memanas. Emosinya siap meledak.

"Suami berhak tahu apa yang dilakukan istri sedang istrinya tidak berhak tahu atas apa yang dilakukan suaminya, apa itu adil!" Mereka berhadapan dengan mata yang saling melotot.

"Apa itu adil, Pak!"  Teriaknya semakin menggema di pagi buta.

"Harusnya aku yang marah!" Pak Rahmat tak kalah keluarkan amarah.

"Kau tinggal jawab, kenapa baru pulang sepagi ini? Apa tujuanmu di luar sana? Kenapa tak minta ijin padaku!" tanyanya sambil menujuk wajah sang istri.

"Aku sekedar pulang jam segini saja harus ijin padamu! Lalu bagaimana dengan kamu? Bapak titipkan anak kita tanpa sepengetahuanku! Apa itu pantas, Pak!" balasnya.

"--Sudahlah, Pak! Aku capek berdebat!" Dibantingnya pintu tanpa mau lanjutkan obrolan.

Pak Rahmat mengejar, menarik tangan kanan istrinya.
"Bu! Kau berselingkuh lagi ya?" tuduhnya.

"Emang kenapa, Pak!" Wanita itu membalikan badan mendongakkan kepala dan menatap tajam pada suaminya.

"Bapak mau ceraikan aku? Silahkan." tantangnya begitu ringan diucapkan.

Di tahun ketujuh pernikahan, bu Rosa sempat memiliki hubungan rahasia via telepon yang berakhir begitu saja dan hanya satu bulan lamanya.
Pak Rahmat mengetahui hal itu, tapi ia lebih memilih memaafkan dan tidak terlalu banyak perdebatan.

Setelah itu, bu Rosa dan pak Rahmat sempat tinggal di Bandung selama lima tahun.

Dua tahun pertama mereka tinggal di sana, bu Rosa kembali mengulang kesalahannya.
Ia berselingkuh dengan mantan terakhir sebelum bertemu pak Rahmat. Kisah cinta itu berlangsung cukup lama dan begitu rapi dirahasiakan.
Dua tahun pak Rahmat dibohongi sampai akhirnya ketahuan. Terjadilah perang hebat antara keduanya sampai-sampai keluarga dilibatkan.
Setelahnya bu Rosa memohon ampun dan maaf yang membuat pak Rahmat luluh dan menyudahi pertengkaran.

Satu tahun kemudian mereka pindah lagi ke Jakarta, Zara dan Sofiyan diboyong ke ibu kota dan mereka tinggal di rumah lama yang hanya ditempati Linda.

"Jadi ini balasanmu?" Setelah aku memaafkanmu?" Dengan suara yang bergetar dan mata yang memerah.

Pertengkaran terjadi tepat di depan pintu kamar Zara.

"Uh! Aku tidak tahan" Ia mengrutu sambil menutup kedua telinganya dengan bantal.
Akhirnya ia tak mau menahan diri.

Cekrek ...
Pintu dibuka.
Ia dengan ekspresinya yang tak biasa.
Darahnya telah ikut mendidih. Siap melontarkan amarahnya.

Zara mengarahkan pandangannya pada pak Rahmat, jarak mereka hanya satu meter kala itu.

"Sudahlah PAK!, Ibu itu PESELINGKUH!!." teriak Zara lantang sambil menunjuk ibunya.

"Ibu udah gak sayang sama Bapak, Ibu udah gak cinta sama Bapak!"

"Apa yang masih bapak harapkan!" lanjutnya.

Plak....!! Satu tamparan mendarat di wajah gadis itu.

"DIAM, KAMU!" bentak pak Rahmat mengikuti emosi.

"Pak!!!" teriak bu Rosa yang kaget melihat kejadian itu.

Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Zara, ia masih dengan tatapannya yang kesal.
Lalu "Gedebrakk.....!" Dibantingnya pintu dihadapan mereka.
Zara kembali ke kamarnya.

Rasa kesal malah semakin menyelimuti tubuhmu. Kau ikut terluka atas pertengkaran mereka. Tak ada yang mencoba mengerti perasaanmu.

"Bapak berani menampar ku, tapi tak pernah sekalipun menampar Ibu.
Bapak bilang mempertahankan hubungan demi anak, padahal tidak! Itu demi dirinya sendiri yang mencintai ibu dengan sangat" ucapmu dengan lirih dalam tangis.





"Keegoisan dan kebodohan cinta juga bisa terjadi di kalangan dewasa"

MyDiary PesanTrend!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang