Semoga Kau Selamat di Perjalananmu

709 148 11
                                    

Sudah tiga hari langit terlihat tak bersahabat. Matahari menjauh dan langit kini lebih akrab dengan teman barunya, hujan. Hujan setia menemani dalam beberapa hari itu, tak mengizinkan sedikit pun untuk matahari mencoba menyapa. Begitulah yang terjadi selama akhir semester ini.

Nana kerap merasakan suasana hatinya berada di level terbawah. Ia tak sesemangat seperti dulunya, tetap beraktivitas tapi rasanya semua ini seperti terpaksa. Bukan hatinya yang mengambil alih kali ini, hanya tuntutan dan itu terus terjadi.

Cangkir Abu tampak ramai saat itu, tapi tak seramai seperti dulunya. Pesanan antar lebih banyak digunakan saat ini dibandingkan berkunjung langsung ke toko, jadi hanya ada beberapa orang saja sedang mendiami tempat ini. Mereka berada di satu fokus bersama buku, laptop dan kopi. Nana kerja seperti biasanya, mengamati semua orang di sana dan menyapa mereka sebaik mungkin.

Kecuali satu orang yang berada di meja ujung. Kepalanya tertunduk dan es teh putihnya ia biarkan sampai es batu di dalamnya mencair keluar. Orang itu larut dalam kesedihannya, Nana berpikir seperti itu. Dan di sanalah Aurora berada.

Berhubung pengunjung sedang tak ramai, Nana meminta izin kepada Tesa untuk mengambil alih bagiannya dulu saat ini. Ia keluar dari meja dapur dan menghampiri langsung sosok yang tengah bersedih di ujung ruangan sana. Akhir-akhir ini Nana kerap melihat Aurora selalu berada di kafe ini, ia melakukan hal yang sama. Aurora datang memesan minuman teh karena gadis itu enggan minum kopi. Beberapa jam Aurora akan menikmati waktunya sendirian di sini.

Nana pun duduk dan berdeham untuk menyadari gadis itu bahwa dia ada di sana. Karena menyadari ada orang lain di dekatnya, lantas kepala Aurora langsung mendongak.

Dan Nana bisa melihat kantong matanya yang tampak bengkak itu.

"Ra, ada masalah?" tanya Nana lebih dulu.

Aurora terkekeh dan ia langsung bangun secepatnya, "Biasa habis nugas, mana kemarin sibuk ujian terus," jelasnya.

"Sampai matanya bengkak gitu ya?"

"'Kan, begadang, Na."

"Mata bengkak kayak gitu bukan begadang. Lebih tepatnya kamu habis nangis sepanjang malam."

Aurora tak berkutik. Ia terdiam dan selanjutnya meraih minumannya yang sudah mencair itu. Es teh putih itu sudah terasa semakin hambar dan ia terus meneguknya hingga setengah gelas. Nana melihati semua itu dan Aurora pun berbalik melihatnya juga.

"Aku baik-baik aja," ucap Aurora.

"Bohong," balas Nana.

Nana memerhatikan lekat-lekat semua ekspresi di wajah gadis itu. Mereka semua tak pandai menyembunyikan ekspresi.

"Berapa banyak lagi rasa sakit yang harus kita rasain?" Aurora terdiam dan ia memandang kosong ke arah minumannya tadi.

Nana menggeleng, "Aku nggak tahu, Ra. Kita nggak pernah bisa bebas dari rasa kayak gitu."

"Mama meninggal, Na. Mamaku yang udah lama hilang beberapa hari lalu meninggal."

DEG!

Aurora menggeleng dan gadis itu setengah tersenyum dan setengah hendak menangis.

"Aku kehilangan satu orang. Aku nggak pernah ketemu mama sejak papa ngasingin aku di rumah," jelas Aurora.

Nana mengangguk, "Sama, Ra. Aku juga kehilangan," balasnya.

Mata Aurora terperanjat dan gadis itu menatap penuh kesedihan atas apa yang dialami oleh Nana juga. Kita satu nasib.

"Na.. kamu ngerasainnya juga?"

drive safe Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang