Katanya kita tidak boleh membenci apalagi orang tua.
Tapi itu tidak berlaku untuk Aurora dan papanya. Sepuluh tahun lebih Aurora menanggung rasa bencinya dan harus bersembunyi dengan wajahnya yang terlihat baik-baik saja. Aurora tak kuat dan hari ini dia menumpahkan segalanya tepat di depan Bu Ratih dan beberapa penghuni panti asuhan di sini.
"Apa pernah Papa ngerti maksud dari Aurora!? Papa minta Aurora untuk memahami Papa dan sebaliknya Papa nggak pernah ngelakuin itu!"
Aurora berteriak dan berusaha menahan tangisnya sekuat mungkin. Di kedaan yang begitu menegangkan dan malam yang semakin larut dia menahan segala rasa sakitnya.
"Papa tuh gila! Ngurung Aurora selama tiga tahun! Ngelarang Aurora untuk keluar rumah bahkan mau kuliah aja mintanya harus setengah mati. Papa mau aku gila!? Dikurung di rumah dan jadi babu untuk istri baru Papa yang sialan itu!"
PLAAK!
Satu tamparan keras mendarat di pipinya. Aurora mengkaku di tempat ketika melihat Papa yang begitu murka.
"Jaga ucapan kamu Aurora! Kamu kurang ajar. Siapa yang nyuruh kamu ngomong kasar kayak gini!? Pasti pengasuh kamu yang ini, 'kan!?"
Mata Aurora membulat dan menatap Papanya yang kini mengarah ke wanita paruh baya yang tengah berdiri ketakutan di ambang pintu ruang tamu.
"Jangan salahin Bu Ratih! Papa yang ngebentuk diri Aurora kayak gini secara gak langsung."
Aurora berlari dan mendekat ke arah Bu Ratih dengan ketakutan.
"Bu, maaf. Gara-gara Papa rumah Ibu jadi gaduh kayak gini. Maaf, Bu." Aurora memegang kedua lengan wanita itu dan meyakinkan untuk jangan takut melihat Papanya.
"Ara, kamu gak papa?"
"Bu- aaakh!!"
Sesuatu menarik rambut Aurora dengan cepat dan sekuat mungkin ia menahan ketika Papa menariknya dengan lebih kasar lagi.
"Ikut Papa! Kamu pergi dari sini!"
"Papa lepasin!"
Aurora memekik histeris mencoba melepaskan tarikan tangan Papanya dari tangannya.
"Bapak, tolong lepasin tangannya dari Ara!"
"Jangan ikut campur!"
Tangisan Aurora langsung keluar dengan cepat. Dengan gerakan yang kasar papa akhirnya melepaskan tangannya dari rambut Aurora. Gadis itu langsung terduduk dengan lemas. Ia tak percaya, orang di depannya ini adalah papanya sendiri. Yang tega melakukan hal keras seperti ini padanya.
"Ikut Papa. Kalo kamu masih mau kuliah jangan tinggal di sini."
"Kenapa!?"
"Karena Papa nggak mau kamu tinggal sama orang yang berani ngerusakin hubungan orang, seperti pengasuh kamu itu!"
Mata Papa menatap tajam ke arah Bu Ratih yang terkejut melihatnya ditunjuk seperti itu. Saat itu juga, wanita paruh baya itu bisa merasakan ada dendam yang tersembunyi dari papa Aurora yang mengingat kejadian dulu saat ia masih menjadi pengasuh anaknya.
Aurora semakin terisak di tempatnya, papa langsung pergi dari ruangan saat itu juga. Dengan keadaan lemas, Aurora bangkit dari jatuhnya. Ia merapikan kembali rambutnya dan berusaha untuk mengusap semua tangisnya, walaupun itu tak pernah berhenti. Langkahnya berjalan pelan menghampiri Bu Ratih yang masih berdiri ketakutan di tempatnya.
"Bu, maafin Aurora. Maafin semuanya, Bu.."
■■■■■
Berjam-jam telah berlalu, Aurora menanggung segala rasa sakitnya dengan menahan diamnya setengah mati. Ia nyaris gila ketika harus satu mobil dengan papa yang sedang mengajaknya ke suatu tempat. Barulah jam dua belas malam, sedan hitam yang membawa mereka berhenti di salah satu rumah. Mobil itu membawa Aurora memasuki halaman rumahnya segera.
KAMU SEDANG MEMBACA
drive safe
FanfictionACT 3 - CHEMISTRY OF LOVE ❝Berapa banyak lagi nyawa yang harus menghilang?❞ Kata mereka, kau harus berhati-hati selama berada di perjalanan. Karena masih ada seseorang yang sedang menunggumu di rumah, maka pulanglah dengan selamat. Nana bertemu lagi...