Part 8 : Why Didn't You Tell Me?

3 0 0
                                    

Keisha membuka mulutnya sambil menatap rumah Edward yang cukup megah. Ia masih berdiri di depan pintu dengan tangan dimasukkan ke dalam kantong, mengagumi besarnya rumah lelaki itu yang hanya ditempati oleh satu orang.

"Kau ngapain? Masuk." Ucap Edward, bingung dengan tingkah Keisha yang melongo menatap rumah itu selama dua menit. "Oh...iya iya." Keisha membuka sepatu dan memasukkannya ke dalam rak cokelat di samping pintu masuk. Ia tidak pernah masuk ke dalam rumah lelaki itu, hanya mengantarnya sampe ke depan pagar rumah. Jadi, tidak heran jika ia terpana dengan rumah Edward yang megah, bukan?

Hal yang sama dilakukannya di dalam rumah. Semua terlihat minimalis dan elegan, walaupun warna yang ada dalam rumahnya rata-rata hitam dan putih. Sofa berwarna hitam, meja berwarna putih marmer, lantai rumahnya yang berwarna hitam marmer, bahkan dinding rumahnya hanya berwarna putih polos.

"Wah, ternyata media tidak main-main saat mengagumi kekayaanmu. Kau memang—artis papan atas."

"Kau managerku bukan sih? Memangnya baru sadar? Selama ini kau kemana saja?" Protes Edward. Keisha hanya tersenyum polos dan kembali menelusuri rumah itu.

"Kau benar-benar tinggal sendiri?" tanya Keisha memastikan. Matanya masih memerhatikan lampu gantung yang ada di tengah-tengah tangga yang memiliki dua cabang ke kanan dan ke kiri. Edward tak kuasa menahan senyumnya melihat Keisha seperti anak kecil yang sedang mengagumi mainan barunya. Wanita itu menoleh ke arahnya, dan mata mereka bertemu. Tak ada satupun yang berniat berpaling duluan. Hanya terdengar suara jarum jam yang menemani mereka.

Edward mendehem dan berpaling. "I...Iya. Kenapa?" ia duduk di kursi ruang tamu, mempersilahkan Keisha untuk melihat-lihat."Oh." entah kenapa Keisha merasa malu.

"Kau tidak takut?" tanya Keisha lagi. Sambil membuat jus jeruk, Edward memutar matanya. Banyak tanya. Batinnya. "Takut apa? Hantu? Yang ada mereka yang takut melihatku." Ucapnya. Edward memberikan gelas ungu berisi jus jeruk itu kepada Keisha. "Makasih."

Yang terjadi adalah kecanggungan. Mereka bedua duduk di ruang tamu dengan gelas putih di tangan mereka. Edward berusaha untuk tidak melakukan kontak mata dengan Keisha, namun cewek itu menatap Edward dengan intense.

"Apa sih? Ngapain kau melihatku sampai begitu?" ucap Edward akhirnya, merasa terganggu dengan tatapan Keisha. Cewek itu mengernyitkan matanya. Apa pula wanita ini? Edward tidak sadar tanpa sengaja menjauhkan tubuhnya dari Keisha. "Eh--kau--ngapain--"

"Toiletnya diamana?" tanya Keisha sambil memegang perutnya. Ya ampun. "Di atas. Nanti kau belok kanan, paling ujung." Jawab Edward sambil bernafas lega. Dengan langkah seribu Keisha berlari dan meninggalkan barang-barangnya di sofa. Edward menggelengkan kepalanya, merasa kasihan. "Mau poop pun banyak tingkah." Ucapnya pada diri sendiri. Merasa bosan, ia mengambil remote dan dalam satu click, proyektor pelan-pelan turun di hadapannya. " Ngapain dia dekat-dekat gitu." ucapnya lagi sambal memegang jantungnya yang berdegup kencang.

Keisha segera berlari ke kamar mandi dan melakukan aktivitasnya. " Ah...LeganyaApa aku salah makan ya?" Matanya menjelajahi setiap sudut kamar mandi yang sangat luas itu. Bahkan ada satu sofa merah besar di hadapannya, lalu disebelah kanannya ada bathtub yang sangat besar. "Dia membuang terlalu banyak uang hanya untuk kamar mandi. Mungkin kamarku pun tidak sebesar toilet ini. Apa pula guna sofa ini di sini?" Ucapnya. Setelah selesai, ia berkaca terlebih dahulu lalu keluar. Keisha sudah melewati dua kamar, sampai matanya menangkap kamar dengan rak tinggi yang berisi buku-buku. Tangannya sudah memegang gagang pintu, namun ia merasa tidak enak masuk ke ruangan itu diam-diam.

"Ed!"

"Apa?"

"Sini naik! Sekalian bawa gelasku ya!"

Knowing You Was MonochromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang