- Kedua

116 49 16
                                    

Tahun ini gue bakalan lulus jadi sarjana.

Ada rasa seneng dan bangga karena bisa lulus tepat waktu. Gue nggak perlu lagi capek-capek buat iri karena melihat temen gue lulus lebih dulu. Gue juga nggak perlu buat julidin temen gue yang begitu udah lulus langsung diterima kerja sesuai dengan passion yang dia punya.

Tapi di satu sisi gue juga sedih. Di depan gue, ada seseorang yang kemungkinan besar nggak ikut gue wisuda sama-sama, yang pastinya ketika gue sudah wisuda akan sulit gue temui. Bukan karena dia yang nggak mau ketemu gue lagi, tapi waktu gue buat ketemu dia yang sepertinya akan semakin sulit.

"Napa dah muka lo suntuk amat,"

Nina datang ke fakultas gue dengan sengaja usai janjian sama temen SMA nya yang kebetulan juga temen satu jurusan gue. Intan namanya.

"Ngurus berkas wisuda ribet banget," keluh gue meletakkan segala map berisi surat-surat di atas meja kantin. "Belum juga satu kelar, harus dikelarin juga yang satunya biar bisa sekali naik ke jurusan. Nggak bisa satu-satu dulu apa."

"Idih. Santai-santai. Minum dulu bos," katanya menyodorkan pop ice coklat yang baru ia pesan. Ya tanpa banyak kata langsung gue minum lah. Lagian gue juga haus banget dari pagi belum minum.

"Tapi habis itu dibayar pakai chatime ya," katanya lagi sambil menaik turunkan kedua alisnya. Gue cuma berdehem, mengiyakan.

"Lo ke kampus cuma mau ketemu Intan?" tanya gue jadi keenakan minum pop ice miliknya. Bodo amatlah gantinya chatime. Entar dipesenin dah sekalian sama truk nya juga.

"Nggak juga sih. Sekalian mau ketemu sama lo hiya hiya," katanya dengan gaya belagak jenaka. Di depan Reihan atau siapalah itu bisa aja Nina tuh kelihatan minat nggak minat sama sesuatu. Tapi kalau di depan gue, ya beginilah kelakuannya.

"Bimbingan sana biar cepat sidang," kata gue. "Biar bisa wisuda bareng sama gue."

"Doain aja biar nyusul," ucap dia enteng. "Besok gue coba bimbingan lagi deh. Bosen juga datengin orang yang sidang mulu."

Berikutnya, dia ngeliatin berkas gue yang agak berserakan di atas meja. Terus dia rapihin jadi satu. "Lo tuh jangan asal ngeletakin map lo begini. Rusak sedikit lo yang berabe," katanya tanpa melihat gue.

"Nggak kebayang dah misalnya gue nggak bisa nyusul lo biar wisuda bareng. Lo wisuda tanpa gue, habis itu lo ke kampus cuma legalisir ijazah doang, terus berangkat dah entah kemana pun kau suka."

Gue berdecak malas. Paling males kalau dia udah ngungkit masalah kepergian gue usai lulus kuliah. Dia gatau aja kalau gue mengingat itu pasti udah suntuk setengah mati.

Gue pada akhirnya akan ngurusin beberapa bisnis bokap. Setelah beberapa kali menolak untuk mengurus hal itu karena alasan takut menganggu perkuliahan (padahal sama sekali nggak menganggu karena gue terlatih mengurus perusahaan dari jaman masih sekolah), dengan terpaksa gue harus terima buat menuruti kemauan orangtua gue karena keinginan gue juga sudah dipenuhi sama mereka.

Yaitu kuliah di Universitas yang ada di Indonesia.

"Ngapain sih ngebahas itu sekarang?" tanya gue nggak suka.

"Ya maaf. Soalnya gue keinget tadi," Dia meringis. "Lo tahu kalau seandainya lo pergi nih kan, nggak ada lagi tempat yang bisa gue datengin buat numpang tidur. Nitip es krim di kulkas lo, atau pesenin gue go-food kalau gue butuh."

"Gue dimata lo cuma sebatas itu ya," kata gue negakin badan di hadapannya. "Lo kayaknya berteman sama gue cuma mau ngutang doang kan? Nitip es krim doang kan? Numpang tidur doang kan?"

Nina ngelebarin mata, jadi kaget lihat gue ngomel begini.

"Bisa nggak sih kalimat lo diganti dengan hal lain? Ada gituh kek sesuatu yang lo ingat dari gue yang kelak lo kenang dari persahabatan kita. Di otak lo tuh kayaknya kalau nggak es krim, numpang tidur, nemenin kondangan, sama minta pesenin go-food ya."

#2 Friend To Lover (√) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang