- Kesepuluh

139 41 45
                                    

(udah end hmmmm jangan lupa tinggalin jejak ya frenssss semoga sukaaa)

-

-

-

-

Jadwal keberangkatan gue pun tiba hari ini.

Orangtua gue nggak ikut mengantarkan gue karena ya buat apa. Besoknya mereka bakalan nyusul gue ke Australia.

Gue dianterin sama Nina yang daritadi mukanya kelihatan kesel banget. Salah gue sih baru ngasitau dia kemaren. Padahal beberapa hari sebelumnya kita sempet ketemu.

"Lu masih cemberut aja sumpah jelek banget anjir," celetuk gue menghampiri dia dibangku. Dia hanya mengerucutkan bibir sambil melipat tangan di dada. Bukannya kelihatan serem, dia malah tampak gemas dengan poni rata dan rambut sebahu itu.

Aduh, kalo begini gue jadi pengen berubah pikiran buat nggak pergi.

Para pengawal yang juga ikut penerbangan dengan gue cuma lihatin kami sekilas, habis itu buang muka. Merasa segan kali ya.

"Ya sorry kan gue lupa," kata gue memberi alasan yang baru gue pikirin di detik itu juga.

"Banyak alesan lo ahhh," kata dia memukul bahu gue cukup keras. "Kok lo pergi sih anjir? Gue sama siapa dong kalo mau minta duit?"

"Kalo lu butuh duit entar gue transfer dah," jawab gue enteng. Dia malah makin mukul bahu gue.

"Gampang banget tuh congor kalo ngomong," katanya kemudian menepuk bibirku. "Duit tuh susah dicari, bos. Jangan terlalu ringan tanganlah."

"Wajar lah gue ringan tangan. Kan gue kaya banget."

"Iya juga ya."

Gue kontan tergelak, sembari mengacak puncak kepalanya gemas. "Bakalan kangen ngga sih lo sama gue?"

"Si setan, pake ditanya lagi," cibirnya. "Jelas kangen lah, tai. Gue juga gatau kapan lo bakal balik,"

"Lu kalo bilang kangen gue tenang aja. Gue bakal pulang buat lo."

"Emang bener-bener tipikal Fabrizio," katanya membuatku kembali tergelak.

Kalau kalian bilang gue cuma becanda, kalian salah. Gue serius bakalan pulang semisal Nina bilang kangen sama gue.

Karena gue juga akan kangen sama dia. Selalu, bahkan mulai hari ini gue berangkat pasti akan begitu.

"Gimana? Lo udah baikan belum?" tanya gue untuk memulai percakapan.

Mengerti konteks dari pertanyaan gue, Nina pun mengangguk. "Gue selalu baik, Ci. Lo ngga usah khawatir."

"Perlu gue suruh Jevi buat jagain lo?"

Kontan dia melebarkan mata, "Lo pengen gue hajar?"

"Nin—,"

"Biar apa sih Ci bawa-bawa Jevi segala? Lo aneh banget," katanya. Asli sih, kalau udah begini kayaknya dia ngambek deh.

"Ya sorry. Gue kan menyarankan biar lo ada yang jagain. Jevi soalnya ngga akan kemana-mana lagi. Dia bakal stay di kota ini," kata gue menjelaskan.

"Emang harus Jevi ya?"

"Daripada gue suruh si Reihan."

"Apalagi dia. Lebih tai tau ngga," katanya penuh cibiran.

Sontak, gue ketawa lebar.

Gue inget banget. Nina juga begini pas Jevi ngajakin dia putus. Dia kesal setengah mati sama cowok itu sampai dia memblokir semua sosial medianya Jevi. Padahal tanpa dia blokir pun Jevi emang udah ngga pernah kelihatan dimana pun.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 06, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

#2 Friend To Lover (√) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang