- Kelima

100 52 31
                                    


Hari itu tibalah hari kelulusan gue. Gue akhirnya wisuda setelah drama pemberkasan gue yang super merepotkan itu benar-benar selesai. Nggak drama-drama amat sih, gue cuma melebih-lebihkan aja kok.

Ada masa dimana gue pengen ngerasain ribetnya ngurusin berkas, seperti temen-temen gue kebanyakan. Minta tanda-tangan dosen yang lama lah, nungguin surat yang nggak selesai-selesai perkara ada aja yang kurang lah, atau hal lainnya yang nggak perlu gue sebutinlah.

Dipemberkasan ini gue merasa sangat dimudahkan oleh pihak-pihak yang terlibat. Alasannya ya tidak lain dan tidak bukan karena gue punya privilege di kampus ini.

Kampus ini salah satu kampus bergengsi. Beberapa staf dan dosen fakultas gue sudah tahu bagaimana latar belakang keluarga gue. Jelas mereka tahulah, bokap gue sendiri yang bongkar.

Capek-capek gue menyembunyikan identitas sampai nama belakang disingkat, ujung-ujungnya terbongkar juga.

"Aduh, berarti gue temenan sama anak sultan dong?" celetuk Rayen pas tahu rumor tersebut udah mulai menyebar. Gue cuma melengos aja.

Tujuan gue kuliah disini kan supaya gue belajar jadi orang biasa. Gue akuin emang enak banget tahu jadi anak sultan, apalagi kalau bokapnya Karelino Danusapati. Dari gue lahir sampai segede ini nggak pernah ngerasain jadi orang susah.

Baru kali ini gue belajar jadi orang biasa walau berujung gagal.

"Kamu tuh harusnya manfaatin semua yang kamu punya ini. Jangan belagak jadi orang susah deh, Ci. Percuma tuh keluarga kita kaya kalau nggak dipergunakan sebaik-baiknya. Koneksi itu penting," ujar bokap gue sewaktu gue tanya kenapa tiba-tiba informasi pribadi gue jadi kebongkar.

Semenjak itu memang segalanya terasa mudah. Apalagi terasa banget waktu gue di semester akhir. Mulus-mulus aja perjalanan gue. Meski gue udah pinter juga sih.

Tapi ini juga yang bikin gue dipandang sebelah mata sama temen-temen gue. Mereka jadi melihat proses gue yang tanpa rintangan ini karena dosen-dosen udah pada kenal sama keluarga gue.

"Pasti Cio nyogok dosen tuh makanya pas seminar sama sidang nggak dikepret penguji."

"Namanya juga orang kaya."

"Cio walaupun pinter kan tetep aja harusnya bener-bener dihabisin sama dospem dan dosen penguji. Temen kita yang pinter aja digituin kan sampai skakmat? Lah si Cio nggak begitu, njir."

Gue muak.

Mereka memposisikan hal yang gue laluin ini karena gue punya duit. Mereka nggak tahu gimana gue susah-susah nyari judul, ngerjain proposal, lalu ke skripsi sampai akhirnya bisa sidang lalu wisuda.

Otak gue bener-bener nggak pernah diakui sama sekali. Semua ketutupan sama harta yang dipunya keluarga gue. Gue sama sekali belum punya harta karena gue melepas usaha yang dikasih bokap ketika gue masuk kuliah disini.

Hingga gue dapat predikat cumlaude pun mereka mengiranya karena semua privilege yang gue punya. Gue nggak bisa menampik hal itu, tapi gue juga mau diakui bukan hanya sebagai si empunya privilege itu. Tapi karena gue mampu juga mempertanggungjawabkan hal tersebut.

Tapi, yaudahlah. Toh juga gue udah lolos dari kampus ini. Gue juga nggak capek-capek nyari kerja karena bokap bakalan nempatin gue kerja di salah satu perusahaannya. Tentu saja jadi bos langsung.

Ilmu gue selama kuliah bakalan gue praktekin disini. Meski dari SMA udah sering diajarin juga, tapi ditambah dengan ilmu yang gue dapat diperkuliahan diharapkan juga biar tambah mateng.

Acara wisuda kali ini berlangsung lama. Ya jelaslah. Secara mahasiswa dan mahasiswi yang lulus tuh sampai ribuan. Sayang, diantara ribuan itu, nggak ada nama Karenina Gayatri di dalamnya.

#2 Friend To Lover (√) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang