- Ketujuh

104 40 33
                                    

chapter ini lumayan panjang, lebih dari 2000 kata jadi semoga kalian nggak bosen ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

chapter ini lumayan panjang, lebih dari 2000 kata jadi semoga kalian nggak bosen ya. ayo berikan dukungan kalian pada cerita ini hehehe.













****

Dari sekian lama gue mengendarai mobil ini, sebenarnya hanya tiga kali gue merasakan situasi yang begitu canggung.

Pertama, usai gue berantem lalu diem-dieman sambil nganterin mantan pacar gue pulang.

Kedua, waktu nggak sengaja ketemu Jevi di pinggir jalan beberapa hari yang lalu usai kita berantem perkara masalah Jevi yang nggak kelar-kelar (entar Jevi sendiri yang cerita).

Dan yang ketiga, waktu gue mengajak Nina tanpa tujuan karena gue lihat mukanya udah lusuh banget. Kayak hidup segan, mati juga segan. Padahal pas ngajak dia tadi kami tuh nggak berantem, cuma berdebat dikit aja.

Itulah yang terjadi sekarang.

Setelah gue memaksa dia sementara dia terus memberikan alasan, akhirnya dia mengalah buat ikut gue ke mobil.

Gue mengerti kalau dia baru aja selesai sidang. Pasti capek banget apalagi persiapaannya itu dari pagi ya kan dan baru aja selesai jam tiga sore tadi.

Tapi gue juga nggak mau ngelihat dia justru berdiam diri di kosan, lalu merasa stress sendiri. Bukan stress karena nilai yang dia dapat. Malah menurut gue nilai yang dia peroleh cukup sempurna kok.

Stress yang gue maksud adalah masalahnya dia dan Reihan—mungkin, karena gue juga masih menerka-nerka apa ia mereka punya masalah apa enggak.

Sekarang kita berdua udah di dalam mobil. Gue sibuk menyetir sementara dia sibuk memandang kearah jalan dengan tatapan kosong. Itu setidaknya yang bisa gue lihat sesekali kearahnya.

"Mau dinyalain musik aja nggak, Nin? Sunyi banget, berasa sendirian gue," Bermaksud bicara begitu untuk mencairkan suasana.

Karena, sumpah. Selama gue kenal sama Nina, ini adalah situasi tercanggung yang terjadi diantara kita berdua. Bahkan waktu Nina bilang suka sama gue aja, kita nggak secanggung ini.

Terdengar helaan nafas dari Nina, namun dia masih belum mengalihkan pandangan dari kaca mobil. "Nggak usah, Ci. Gue mau tidur aja bentar."

"Lah, makin sunyi dong entar," kata gue.

"Please, Ci. Gue tidur bentar ya."

Gue jadi terdiam. Dia kelihatannya juga emang capek. Beda banget dengan tadi yang asik meladeni teman-temannya yang mau foto bareng dia. Sesi fotonya bukan cuma rame-rame gituh. Ada yang satu orang tiga kali jepret, belum lagi boomerangnya. Bahkan tadi ada yang ngajak tiktokan.

Nina nggak berhenti ketawa menanggapi candaan temen-temennya. Gue heran kenapa diantara temen-temennya ini nggak ada satupun yang jadi temen akrab yang bener-bener akrab sama dia. Meski Nina nggak terlalu ramah namun nggak sombong juga, gue masih nggak menyangka ternyata temen-temen yang datang ke sidangnya sebanyak itu.

#2 Friend To Lover (√) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang