- Keenam

106 46 22
                                    

"Lo tahu enggak si Nina sama tuh cowoknya udah jadian?"

Gue melirik kearah Jevi yang sibuk memakan pop mie nya di meja makan. Gerakan tangan gue yang sibuk mengetik di keyboard laptop juga terhenti. Hari ini, sehari setelah gue wisuda, gue udah diberi kerjaan sama bokap gue. Mana deadlinenya besok jam tujuh pagi lagi.

Ngomong-ngomong Jevi datang kesini bukan tanpa alasan. Katanya dia lagi lari dari rumah, bahkan dia sampai nginap disini. Dia belum cerita apapun ke gue. Cowok ini sedang belagak misterius sepertinya.

"Tahu," kata gue. "Lo kok bisa tahu mereka jadian?"

"Gue ketemu mereka di Warung Bi Asih."

Sepenuhnya atensi gue kini kearah Jevi. Cowok itu menunduk, sibuk menggerakkan sendok plastik dalam cup popmie itu.

"Awalnya gue nyamperin Nina karena dia duduk sendiri. Gue udah ngajak dia ngobrol tiba-tiba tuh cowok dateng. Gue nanya dong dia siapa, dia bilang kalau dia pacarnya Nina. Dia ternyata tahu kalau gue mantannya Nina dan bilang jangan gangguin Nina lagi. Padahal gue nggak ganggu dia."

"Terus?"

"Cuma ngajak ngobrol aja sambil bilang kalau dia merasa kesepian si pacarnya itu enggak ada tinggal cari gue aja karena nomor gue masih yang lama. Belum diganti."

"Lo mau nawarin diri jadi selingkuhannya gituh?"

Jevi malah cengegesan, "Kalau dia mau, kenapa gue harus nolak?"

"Goblok," umpat gue tanpa dosa.

Jevi ketawa, "Becanda, Ci. Kenapa sih lo sensi gituh?"

"Diem lo," kata gue kembali melakukan apa yang seharusnya gue kerjakan daripada meladeni sosok Jevian itu.

Gue nggak bisa bayangin gimana rasanya jadi Jevi. Menyaksikan langsung mantan kekasihnya itu jadian sama orang lain. Memang udah mantan sih, tapi kalau masih sayang gimana dong?

"Ci?"

"Ape?"

"Lo pas denger kabar Nina jadian, perasaan lo gimana?"

Gue berhenti lagi hanya untuk menatap Jevi yang bertanya dengan entengnya seperti itu. "Lo nanya-nanya gini sebenarnya lo udah tahu jawabannya kan?"

"Tahu, tapi gue mau yang spesifik," jawab Jevi. "Kalau gue sih ya sakit. Di satu sisi merasa janggal, di satu sisi mencoba ikhlas walau nggak terima."

Jevi tidak lagi duduk di meja makan, melainkan membuang cup popmienya ke keranjang sampah. Dia jalan kearah gue dan terhenti duduk di sofa.

"Ribet banget perasaan lo," kata gue mencibir.

"Emang," balasnya. "Kita pisah juga karena terpaksa, Ci. Gue yang merasa kepaksa dan dia mau nggak mau harus terima membuat gue juga merasa bersalah. Gue memang nggak tahu berapa lama waktu yang dia butuhkan makanya bisa move on tapi pada masa kita putus dia pasti mengalami hari yang berat kan?"

Gue tidak menjawab. Faktanya memang iya.

Nina mengalami hari-hari yang cukup berat buat lupa sama Jevi. Dia masih suka buka-buka galeri yang isinya foto dia sama Jevi, buka chat lama mereka, curhat ke gue dan nanya-nanya gue tentang Jevi. Sayangnya, gue selalu bilang kalau Jevi nggak pernah nanyain dia.

Nyatanya gue berbohong. Baru-baru putus Jevi masih rajin nanya ke gue kabarnya Nina. Beberapa kali sampai akhirnya kita lost contact.

Gue nggak mau bikin Nina berharap apapun lagi sama Jevi. Putusnya mereka juga itu berawal dari Jevi, masalahnya ya dari si Jevi. Gue nggak mau Nina cari tahu apapun tentang cowok itu.

#2 Friend To Lover (√) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang