Bagi Jaemin, Jeno itu bagai matahari. Si ceria pencair suasana, hobi menebar pesona dan memiliki bakat penggoda yang ulungnya luar biasa.
Senyumnya manis, kontras dengan wajah tegasnya yang nampak galak ketika ia serius. Rahang tegas dan hidung mancung, mata tajam dan bibir tipis. Wajahnya tampan, bak Apollo si dewa musik, puisi, dan yah—matahari. Tak heran banyak orang yang menyukai Jeno dalam sekali temu pandang. Jikalau Jaemin dan Jeno tinggal di peradaban Yunani Kuno, dapat dipastikan gantengnya Jeno itu menurun dari ayahnya, Zeus.
Pribadinya juga asyik. Ramah kepada siapa saja dan penolong. Rasa simpati dan empatinya tinggi, tidak seperti Jaemin yang cuek-cuek bebek dan baru mau bergerak setelah dipaksa Jeno untuk memindahkan pantat.
Kalau bagi Jeno, Jaemin itu bak rembulan temaram di gelapnya langit malam, bersanding indah bersama bintang-bintang gemerlap di ujung cakrawala. Si pendiam mempesona, irit bicara namun murah senyum. Wajah manisnya menjadi daya tarik utama, dengan mata bulat bening yang polos, bulu mata lentik dan pipi merona natural seperti persik. Bibir tipisnya bagai candu, hidung bangir mungil yang hobi Jeno sentil, dan fitur manisnya yang dilengkapi dengan dua gigi kelinci sebagai pemanis mutlak seorang Na Jaemin.
Jeno sebetulnya merasa kagum dengan dirinya sendiri. Ia merasa bangga bisa memiliki Jaemin disaat semua orang mencoba mendapatkan perhatiannya.
Pribadi keduanya bertolak belakang, memang.
Jeno dan Jaemin itu bagai langit dan bumi; yang tak pernah sealam.
Bagai hitam dan putih; yang tak pernah sewarna.
Bagai air dan api; yang tak pernah senyawa.
Bagai timur dan barat; yang tak pernah searah.
Bagai perumpamaan Helios dan Selene, siang dan malam, Yin dan Yang, meskipun berbeda namun keduanya saling melengkapi.
Jeno yang ramai dan Jaemin yang pendiam. Jadi ketika Jeno sudah mulai kelewat batas bawelnya, akan ada Jaemin disana yang menghentikannya.
Jeno yang hangat dan ceria serta Jaemin yang dingin dan cuek. Ketika Jaemin sudah mulai terlampau cuek dan malas bersinggungan dengan orang lain, akan ada Jeno yang mengingatkan bahwa memang begitulah cara manusia menjalankan kehidupan.
Meskipun begitu, eksistensi keduanya bagai prangko dan kertas, presentasi magnet beda kutub, karena dimana ada Jaemin pasti ada Jeno, dan begitu juga sebaliknya.
Perdebatan kecil selalu hadir di antara mereka sebagai bukti ketidakcocokan tersebut benar adanya. Pertengkaran pun tak jarang mereka lakukan, hanya karena sebuah hal kecil berdasarkan kecemburuan dan kesalahpahaman.
Namun pada akhirnya Jaemin akan kembali pada Jeno. Karena Jeno adalah matahari, pusat dari komposisi di galaksi, dan sudah merupakan tugas Sang Bulan untuk mengikuti kemana pun mataharinya bergerak.
.
.
.
.
.Jeno menatap koper besar dan tas ransel yang kini tergeletak di lantai kamarnya. Jam di dinding telah menunjuk ke angka sepuluh, Jeno baru selesai berkemas dan kini bersiap untuk tidur.
Sebelumnya ia menatap kamar yang telah ia singgahi selama hidupnya hingga saat ini. Tempat dimana memori paling indahnya tercipta; bersama Jaemin—memeluknya, menciumnya, hampir segalanya.
Terakhir, Jeno tersenyum seraya meraih sebuah figura foto yang selalu ia pajang di atas nakas selama hampir dua tahun belakangan. Fotonya dengan Jaemin yang diambil oleh Mark ketika mereka merayakan ulang tahun Haechan.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔️Eighteen - [nomin]
FanfictionJaemin pikir, semua doa yang telah ia panjatkan akan mencegah dunianya runtuh. Namun pada akhirnya semua sia-sia. Mimpi Jaemin tetap semu. 🧶nomin/jenjaem 🧶lokal ⚠️bxb ⚠️angst, soft-fluff, drama, rom-com, school-life 📚completed dazzlingyu, 2020...