02. Dormitory

260 43 3
                                    

Keadaan di luar kubah sebenarnya tidak seburuk apa yang orang-orang pikirkan. Sepuluh tahun belakangan, teknologi di luar kubah kembali melaju dengan pesat. Beberapa ahli bidang otomotif kembali membuat terobosan kendaraan baru, sehingga mereka mulai bisa mengirim bahan pakan ke tempat yang lebih jauh.

Para warga mulai membangun rumah masing-masing, satu rumah biasa diisi oleh satu kepala keluarga. Mereka mulai beradaptasi dengan cuaca yang ada, sehingga saat musim-musim dalam suhu ekstrim datang, mereka bisa bersiap siaga mengumpulkan sumber daya berkat alat pendeteksi bencana khusus.

Mereka hidup di zaman yang sangat modern sebelum bencana besar terjadi, seluruh teknologi besar-besaran sudah di keluarkan. Namun berkat kehancuran planet bumi, seluruh penemuan dan inovasi mereka seakan sia-sia. Bisa di bilang, kejadian ini merupakan simulasi kiamat bumi yang mengerikan.

Para warga di luar kubah hanya memikirkan kebutuhan pokok untuk bertahan hidup. Pendidikan bukan lagi suatu hal yang penting bagi anak-anak mereka, karna bahkan kebanyakan pekerja di ladang adalah anak-anak yang masih di bawah umur. Para wanita kebanyakan bekerja sebagai tukang jahit, pembuat roti bahkan pengepul padi. Sedangkan para laki-laki biasa mengerjakan pekerjaan yang lebih berat, seperti kuli panggul atau nelayan.

Setelah tsunami besar, air laut kini menyatu sebagai lautan luas. Sangat beresiko untuk bekerja di kelautan, oleh karna itu harga satu kilo ikan air asin mungkin dapat ditukar dengan 1 gram emas. Tapi mereka masih tidak kehabisan akal, beberapa spesies ikan air tawar kembali ditemukan, para warga mulai kembali mencoba untuk membuat penangkaran ikan air tawar yang pasti memiliki harga yang lebih rendah dibandingkan ikan air asin.

Namun di tengah kegetiran masyarakat, masih ada komunitas-komunitas kecil yang menjujung tinggi ilmu pendidikan. Salah satunya di sebuah asrama perempuan yang terletak cukup dekat dengan kubah, letaknya ada di pinggiran bukit dengan rerumputan kering. Jika berjalan sedikit mereka akan menemukan hamparan pasir yang penuh dengan mesin canggih untuk menjaga kestabilan isi kubah yang sangat-sangat besar.

Beberapa orang yang mengidap megalophobia bahkan sampai pingsan melihat seberapa besar kubah tersebut dari luar. Besarnya mungkin dapat menampung hingga 10 juta gedung yang seukuran dengan Burj Khalifa atau mungkin lebih. Hampir memakan seperempat dari pangea yang ada saat ini.

"Seberapa banyak lubang diatapnya?" Jeongyeon bertanya pada Jihyo, sambil berkacak pinggang melihat ke langit-langit atap asrama.

"Mungkin ada 4 lubang, kebanyakan berada di dekat tembok."

"Kita harus segera memperbaikinya sebelum musim hujan tiba, bisa berbahaya jika buku-buku dan lemari terkena percikan air. Mereka akan cepat berjamur."

Jihyo mengangguk setuju, ia berpikir sejenak. "Kita minta bantuan siapa, ya?"

"Bukankah Yoongi bisa memperbaikinya?"

Jihyo mengedipkan matanya berkali-kali, ia mencerna ucapan Jeongyeon dengan pipi yang bersemu merah. "Iya, sih."

"Yasudah, ayo coba kita panggil dia kemari." Saran Jeongyeon, namun ia menyadari kalau Jihyo malah tersenyum seorang diri.

Sambil meringis geli ia menyadarkan Jihyo dengan memukul pelan bahu gadis itu. "Kau kenapa senyum-senyum sendiri? Seperti orang gila saja!"

Jihyo mendengus. "Ya, memang kenapa? masalah untukmu jika aku tersenyum sendiri? Ini kan bibirku, ya terserah aku!"

"Asrama ini tidak menerima gadis gila." Sarkas Jeongyeon berkacak pinggang, Jihyo melotot sebal kearahnya.

"Enak saja, kau yang gila!"

Jeongyeon tertawa. "Yasudah cepat beritahu Jisoo kalau kita akan pergi sebentar, bisa-bisa dia marah besar kalau kita pergi tanpa pamit dan mengundang pria ke tempat ini tanpa izin padanya."

DivineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang