12. difficult choice

121 26 1
                                    

Kepulangan Jeongyeon, Nayeon, Jihyo dan Sana disambut oleh Jisoo dengan raut wajah mengerikan. Keempat gadis itu telah pergi seharian tanpa meminta izin, dan mereka bahkan melewati jam makan siang juga yang paling buruk Jeongyeon tidak mengerjakan beberapa tugas dengan tepat waktu.

Untung saja keempatnya pandai beralasan, dan kompak untuk membantu Jeongyeon menyembunyikan misi rahasia yang telah ia bangun selama ini. Namun Jisoo memberikan hukuman untuk mereka semua, terutama Jeongyeon untuk menyelesaikan tugas yang selama ini dia tunda.

Komputer untuk mereka berkomunikasi di simpan pada markas mereka yaitu gudang di toko hirai untuk meminimalisir kecurigaan. membuat Jimin belum bisa menghubungi mereka, dikarenakan Momo tidak mengerti sama sekali apa yang harus dilakukan untuk mengaktifkannya.

Jeongyeon menghabiskan hari-harinya diasrama, mengerjakan banyak tugas yang menumpuk, melakukan piket juga memasak untuk makan para gadis-gadis diasrama. Mereka juga sesekali merawat para bayi-bayi yang titipkan orang tua mereka karna sibuk bekerja, dan secara sukarela mengajarkan anak anak yang datang untuk membaca, menulis dan berhitung.

Jeongyeon mendapat panggilan dari kantor pemerintahan perbatasan, melalui telepon khusus asrama. Ia diberitahu bahwa alat pendeteksi cuaca telah mendeteksi badai besar, oleh karna itu pemerintah berharap agar Jeongyeon membantu mereka mengirim sinyal darurat ke seluruh penjuru.

Hal yang pertama Jeongyeon lakukan adalah membantu Jeonghan mengamankan sapi-sapinya pada bungker di lereng bukit. Untuk memastikan keberlangsungan sisa dari sumber daya hewani mereka. Memberikan peringatan pada seluruh warga agar tidak keluar rumah, dan memastikan bahwa sinyal daruratnya telah sampai ke ujung pangea.

Dengan bantuan Yoongi, Jeongyeon  menonaktifkan menara sinyal yang telah lama dibangun untuk komunikasi. Tujuannya adalah agar tidak terjadi konsleting parah yang bisa saja mengakibatkan kebakaran masal. Saat ini ia hanya dapat berdoa memandang langit, agar badai tidak memporak porandakan desanya.

Di malam hari gadis asrama membuat lingkaran besar di ruangan aula, mereka mulai berdoa sesuai keyakinannya masing-masing. Mereka kemudian memegang tangan rekan mereka satu sama lain dan mendengarkan renungan malam dari Jisoo, selaku ketua asrama perempuan ajisai.

Dengan mata berkaca-kaca Jisoo mencoba meyakinkan agar para gadis tetap tenang dan jangan bertindak gegabah, takdir dan kematian seseorang telah diatur oleh yang maha berkehendak. Esok pagi langit tidak akan secerah biasanya, angin dan hujan lebat diperkirakan akan muncul pada jam 9 pagi. Para warga yang tinggal di pesisir sudah mengungsikan diri ke dataran yang lebih tinggi.

Mereka mengunci seluruh jendela dan pintu asrama dengan rapat, persediaan makanan telah diatur sebaik mungkin agar mereka tidak kekurangan. Listrik di padamkan, desa menjadi gelap gulita.

Para gadis tidur di lantai aula asrama beralaskan tikar dan selimut, saling berkumpul agar dapat memantau keadaan satu sama lain.

Di tengah malam saat para gadis sudah tertidur lelap, Jeongyeon terbangun dalam kesendirian. Ia melamun sambil memeluk lutut, sesekali melirik ke wajah polos Jihyo yang tertidur di sampingnya.

Samar-samar cahaya lilin, ia menatap kearah lukisan yang tertempel di dinding aula asrama. Lukisan itu diberikan ayahnya sebelum ia pergi, menggambarkan sebuah rumah kecil dengan sungai dan pohon yang tumbuh di sekelilingnya. Itu adalah rumah masa depan mereka, rumah impian mereka jika ayahnya telah kembali.

Namun, saat ini Jeongyeon hanya menangis dalam hening, suaranya tak terdengar meskipun air matanya mulai mengalir dengan deras. Selama ini dia bertahan hanya untuk ayahnya, ia tidak mau mencintai siapapun selain ayahnya. Tapi kehadiran Jimin mulai merubah perasaannya, kehadiran teman-teman di asramanya membuat ia khawatir kehilangan mereka semua.

DivineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang