Meskipun matahari siang ini sedang menunjukan eksistensinya di atas sana, tapi sama sekali tidak membuat pria yang memakai helm putih di bawahnya menyingkir. Dan meski terik saat ini sangat kejam menyiksa kulitnya yang berwarna kuning langsat, ia abaikan. Dia pun sama sekali tak berniat mengurai lipatan lengan kemeja panjangnya yang ia singsingkan hingga ke siku. Dirinya tetap berdiri dengan tubuh tegap seraya kedua mata mengawasi bangunan di depannya, beberapa saat melirik kertas besar di tangannya, di tempat yang jauh dari tempat teduh.
Satu lembar kertas dengan desain rumah sudah jadi ia selipkan ke bawah, matanya kini meneliti kertas yang hanya bergambar pola dengan mata menyipit. Kemudian pandangannya kembali mengarah pada pondasi-pondasi kokoh yang hampir selesai dipasang.
Di tengah pekerjaan yang ia awasi, seseorang menepuk pundak, membuatnya menoleh ke arah samping.
"Mish, dari tadi handphone lo bunyi terus, angkat gih takut penting," kata pria yang menepuknya barusan.
Ia bertanya, "Siapa?"
"Lo beneran nanya gue?" ujar pria yang berpenampilan serupa dengannya. Memakai kemeja kantor, dan juga helm putih yang sama. "Serius?" tanyanya lagi.
Dan ia tidak merasa sedang bercanda ketika ia bertanya. Lagi pula tidak ada orang lain diantara mereka, dan angin tidak mungkin menjawab pertanyaan yang ia ajukan pada laki-laki itu.
"Mbok Nah gak tau, Den. Coba den Hamish liat sendiri." Dengan nada suara yang direndahkan, ia meniru suara perempuan paruh baya yang malah terdengar menggelikan di telinganya.
Mendapat sindiran seperti itu, laki-laki bernama Hamish itupun berdecak lantas menyerahkan kertas pada temannya sebelum berbalik dan bergerak meninggalkan tempatnya untuk ke pos satpam sekaligus tempat istirahat, dan juga tempat.dimana handphonenya sedang di isi daya.
Lima belas panggilan dari nomer ibunya. Degup jantungnya tiba-tiba berdebar kencang, tidak biasanya sang ibu menghubunginya pada saat jam kerja. Segera saja ia hubungi balik nomer itu dengan perasaan bertanya-tanya. Sekali, dua kali tidak di jawab. Hamish tetap menghubungi ibunya hingga panggilan ketiga baru diangkatnya.
"Kenapa, Mish?" tanya ibunya disebrang sana.
"Loh, Hamish yang harusnya nanya, Mah. Ada apa?"
Beberapa detik ibunya terdiam sebelum ber-oh panjang. "Ini hp mamah tadi dimainin Putri, mungkin Putri yang nelponin kamu."
Hamish pun menghela napas lega. "Sekarang Putrinya mana?"
"Baru aja tidur."
"Oh, udah makan, Mah?"
"Mamah sama Putri udah, kamu?"
"Bentar lagi."
"Jangan lupa makan, Mish."
Hamish mengangguk padahal ia tahu ibunya tidak akan melihatnya. "Iya mah, kalau gitu Hamish tutup yah, masih banyak pekerjaan."
"Iya." Setelah mendengar jawaban ibunya, Hamish pun menutup panggilan.
Tidak langsung diletakan kembali, handphone yang masih tersambung kabel charger dan baru terisi 50% daya itu masih ia pegang. Satu sudut bibirnya terangkat membentuk senyum kecil kala ia memandangi sebuah potret seorang wanita yang sedang menggendong bayi di pangkuannya yang ia jadikan sebagai wallpaper di ponselnya.
Mengusap wajah foto wanita itu dengan ibu jarinya. Hamish melihat kursi kayu di dekatnya yang ia pakai untuk duduk.
Hamish Alzakky Driyawan, atau yang akrab di sapa Hamish itu malah membuka folder di ponselnya. Gambar anak kecil memenuhi galeri-nya. Senyum lebar yang membuat gigi tengah yang bolong terlihat membuat gadis kecil di foto itu sangat lucu, Hamish tersenyum. Ada perasaan haru dan bahagia, namun rasa sedih akibat bersalah juga menyentilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Permata Untuk Hamish
General FictionBelum menikah di usia yang cukup dewasa bukan keinginan Istiara, bahkan karena statusnya ia menjadi sasaran gosip orang sekampungnya. Sampai pada suatu hari sebuah lamaran dari seorang duda beranak satu dari kota datang, tentunya setelah ini ia tida...