PUH 04

2.2K 425 10
                                    

Tepat pukul tiga sore hari Hamish keluar dari kantornya. Menempuh perjalanan dua puluh menit untuk sampai di sebuah gerbang tinggi berlapis alumunium berwarna putih. Gerbang terbuka otomatis saat Hamish memencet remote kontrol yang ada di mobilnya. Membawa kendaraannya masuk melewati pintu gerbang, dan berhenti di tempat biasa kendaraannya disimpan. Setelah memarkirkan mobilnya di garasi, ia segera keluar dan berjalan sedikit tergesa untuk masuk ke rumah.

Di dalam pesan yang dikirim siang tadi, ibunya mengabari bahwa beliau dan Putri sudah kembali dari Sukabumi.

"Tumben pulang cepet?" Hamish melihat seorang yang bertanya padanya. Di atas sofa panjang depan televisi yang menempel di dinding, kira-kira tiga langkah jaraknya dari sofa, laki-laki paruh baya kepalanya yang setengah botak, duduk dengan kaki menyilang. Kerutan yang kentara di wajahnya menandakan bahwa laki-laki itu setidaknya berusia 60 tahun-nan. Laki-laki tersebut bernama Sanusi, ayah dari Hamish.

"Hari ini gak terlalu sibuk." Jawabnya.

Hamish tersenyum saat Putri yang tadi duduk bersama kakeknya di sofa, bangun dari duduknya dan menghampirinya.

"Kangen papah gak?" tanyanya ketika menggendong Putri setelah menyimpan tas kerjanya di sofa single. Hamish mengecup kepala rambut tebal Putri yang panjangnya tidak lebih sampai bawah telinga, lalu membawa bocah itu mendekati pak Sanusi, dan duduk di sofa yang otomatis membuat Putri duduk di pangkuannya.

"Nyampe jam berapa, Pah?" Hamish bertanya pada ayahnya.

"Jam 11 tadi," jawab Pak Sanusi yang kemarin ikut menemani istri dan cucunya ke Sukabumi.

"Sebenernya, tadi Putri gak mau pulang." Hamish dan pak Sanusi menoleh ke arah suara ibunya yang baru masuk ke dalam ruang keluarga, dan bergabung dengan mereka.

Kening ibunya mengernyit ketika sadar bahwa anak laki-lakinya belum berganti pakaian, yang artinya juga belum mandi. Dan cucunya duduk di pangkuan Hamish. "Mandi dulu sana."

"Bentar lagi, Mah," kata Hamish yang seketika penasaran dengan ucapan ibunya sebelumnya. "Putri kenapa gak mau pulang?" tanya Hamish pada ibunya, tapi Putri yang menyahut.

"Puput mo main sama kakak bule."

"Kakak bule?" Hamish yakin ini pertama kalinya ia mendengar nama itu. "Siapa?"

"Audrey maksudnya, anaknya Mitha." Pak Sanusi menambahkan. "Mungkin karena wajahnya mirip bapaknya, di kampung jadi dipanggil bule."

"Emang persis bapaknya wajah Audrey itu," ujar ibunya.

"Putri mo main ama kak Bule lagi, Pah."

"Emang Putri gak kangen sama Papah?" tanya Hamish, telapak tangan kanannya mengelus pipi kiri Putri, kulit bocah itu sangat lembut. Dan wajahnya, begitu mungil.

Orang mungkin akan menilai bahwa anak itu tidak tumbuh dengan vitamin yang cukup. Tubuh Putri kecil untuk ukuran bocah yang sedang tumbuh kembang. Padahl, Bu Fatma sangat memperhatian asupan makannya. Hanya saja, nafsu makan Putri memang sangat jelek.

"Kangen, tapi Papah kelja telus."

Sebersit rasa bersalah merayap dalam hati Hamish. Laki-laki itu menghela napas. "Maafin papah," katanya, kembali mengusap rambut hitam legam dan lurus milik anaknya.

"Papah kan kerja buat Putri." Ibunya yang melihat rasa bersalah di mata Hamish mencoba membuat cucunya mengerti. "Lagian, kan ada ada Oma yang nemenin Putri kalau Papah kerja."

"Tapi Puput gak mau mbak lagi yah, Oma?"

Cerita tentang pengasuh Putri yang dipecat ibunya gara-gara memarahi Putri, membuat Hamish enggan untuk mencari pengasuh lain. Selain karena ibunya mengatakan untuk tidak lagi memperkerjaan pengasuh, karena katanya beliau masih sanggup mengurus Putri, anaknya pun sepertinya kapok jika harus diasuh oleh oranglain.

Permata Untuk HamishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang