"Yang, kalau aku meninggal nanti kamu jangan sedih yah." Dan seketika ia kehilangan sepasang lengan kekar yang memeluk tubuhnya di balik selimut.
Suasana romantis di luar balkon kamar itu seketika berubah, sang pria melayangkan tatapan tidak suka akan kalimat wanita itu.
"Kenapa tiba-tiba ngomong begitu?"
Posisi keduanya yang semula rebahan di sandaran kepala sofa, kini duduk tegak saling berhadapan.
"Setiap orang paati akan meninggal, Yang."
"Aku tahu, tapi kenapa harus ngomong itu sekarang."
"Umur kan gak ada yang tahu. Bisa aja aku meninggal lebih dulu. Jadi, gak salah dong kalau aku mewanti-wanti kamu."
"Kamu gak bakal meninggalkan aku." Putus sang pria, wajahnya berubah masam. "Kita akan hidup berpuluh-puluh tahun lagi."
"Jangan sombong." Wanita itu menyenderkan kepalanya di bahu sang suami. "Kita bukan Tuhan, jangan mendahuluinya," ucapnya pelan.
Nada getir itu terdengar aneh di telinga sang suami. "Vit, sejak kamu pulang dari pemakaman temanmu kamu kok jadi aneh sih, gak ada yang ngikut, kan?" Dan satu cubitan di layangkan wanita bernama Vita pada perut keras sang suami, yang membuatnya seketika mengaduh karena cubitan Vita cukup pedas di perutnya.
Sore tadi Vita kepemakaman temannya yang meninggal secara mendadak. Ia bahkan tidak mendengar temannya sakit, namun tiba-tiba saja di telpon bahwa temannya itu sudah tiada.
"Aku serius Hamish," Vita akan memanggil nama suaminya jika sedang kesal, atau gugup, bahkan was-was. "Umur itu rahasia Tuhan. Kamu tahu 'kan temenku yang meninggal dadakan itu? jujur aku takut kalau Tuhan mengambil umurku di saat aku belum siap." Ketakutan itu terasa jelas dari nadanya. Hamish lantas membelai kepala sang istri yang masih bersender di pundaknya.
Masih aneh tentu, tapi Hamish lebih memilih menenangkan Vita. Ia tahu bahwa wanita yang ia nikahi dua tahun yang lalu itu memang terlalu memikirkan pada hal-hal yang menurutnya tidak perlu.
"Kalo gitu kita hanya perlu berdoa dan meminta sama Tuhan untuk memberi kita umur yang panjang." Hamish sedikit menunduk san melihat istrinya tersenyum, namun yang ditampilkan bukan senyumana yang melegakan.
"Apa Tuhan akan mendengar doa perempuan yang sujud hanya di hari raya aja? Sepanjang hidupku, aku sadar bahwa aku lebih banyak melupa Tuhan."
Merasa disinggung, Hamish pun terdiam. Ia tidak ada bedanya, mengejar duniawi membuatnya abai akan ibadah. Dan Hamish tidak punya bahan untuk mendebat hal seperti itu.
"Kalau nanti Tuhan ambil aku, kamu boleh kok nikah lagi. Tapi jangan sampe lupain aku, yah?" Dan Vita masih saja bicara hal itu. Meski di ucapkan dengan nada bercanda, bahkan tawa di ujung kalimatnya Hamish tetap tidak suka.
"Gak akan ada yang bakal menikah lagi, entah aku atau kamu yang pergi duluan." Hamish kesal. Ia baru kembali dari luar kota, selama sepekan mereka tidak bertemu. Dan ketika sedang menikmati waktu berdua, Vita malah membicarakan topik seperti itu.
"Ih, kok gitu?" Kepala Vita menjauhi pundak suaminya. "Jadi kalau nanti aku ditinggalin, aku harus jadi janda seumur hidup?" tanya Vita dengan raut wajah tidak terima.
"Makanya jangan bahas-bahas kayak begituan." Seloroh Hamish.
Sebab... setiap ucapan adalah doa.
***
Tu bi kontinyu.....
Eheeem, bismillah. Cerita baru nih temen-temen, insha allah gak bakal terlalu ngaret 😊
❤❤❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Permata Untuk Hamish
General FictionBelum menikah di usia yang cukup dewasa bukan keinginan Istiara, bahkan karena statusnya ia menjadi sasaran gosip orang sekampungnya. Sampai pada suatu hari sebuah lamaran dari seorang duda beranak satu dari kota datang, tentunya setelah ini ia tida...