PUH 06

2K 396 31
                                    

Suatu pagi menjelang siang di hari libur, sekitar pukul setengah delapan dimana matahari tengah menanjak lebih tinggi untuk menapakan terangnya. Dan ketika itu Isti baru selesai mencuci pakaian, yang langsung menjemurnya di belakang rumah yang luas. Halaman belakang memang diperuntukan untuk menjemur pakaian. Terdapat kawat panjang yang terentang yang diikatkan pada dua sisi tanggul yang berjarak berjauhan untuk menahan kawat tersebut.

Hari libur merupakan hari dimana semua pekerja diliburkan. Termasuk dirinya dan adiknya Asti yang bekerja sebagai bidan di puskesmas di kecamatan, tapi tidak untuk bapak yang masih pergi ke sawah untuk memantau pekerja-pekerjanya di sana.

Ketiga wanita di rumah itu berbagi tugas sejak mata mereka terbuka subuh tadi. Setelah sholat berjamaah, sarapan dan melepas bapak ke sawah, mereka mengerjakan tugas-tugas yang sudah dihapal setiap kali akhir pekan, setidaknya untuk asti begitu. Karena Isti selalu membantu ibunya mengerjakan tugas rumah sebelum berangkat sekolah. Maka setiap akhir pekan, yaitu hari minggu, sebab hari sabtu tidak berlaku sebagai hari libur di desanya, dan sekolahnya hanya libur di hari minggu. Isti mencuci pakaian, Asti membersihkan dapur termasuk mencuci piring bekas sarapan, sedang ibunya membersihkan rumah yang tidak begitu kotor karena setiap hari di tak pernah tidak tersentuh kemonceng, sapu dan pel.

Pakaian yang Isti cuci cukup banyak. Meski Sebagian di cuci oleh mesin, tapi baju mengajar dan baju tugas Asti harus di cuci manual memakai tangan, maka kedua tangan Asti cukup panas setelahnya dan berwarna putih pucat karena terendam air cukup lama.

Semua pakaian basah sudah terentang di atas jemuruan. Isti memgambil keranjang kosong. Ketika berbalik, ia terkejut dengan sosok wanita yang berdiri tepat di belakangnya, memakai gaun putih dan tersenyum.

"Astagfirulloh." Isti memejam kedua mata. "Ya Allah," sambungnya sambil memegang dada yang berdetak cukup cepat karena terkejut.

"Kunaon ari kamu kos nu nempo jurig wae. (Kamu kenapa? Kok kayak ngeliat hantu begitu.)"

Membuka kembali matanya sehingga Isti bisa melihat jelas wajah tidak berdosa milik Anisa. Sama sekali tidak sadar bahwa dialah alasan Isti terkejut hingga menyebut. "Kabiasaan ngareuwaskeun ari kamu, Nisa. (Kebiasaan bikin kaget deh kamu ini, Nisa)"

"Ah, perasaan cicing urang mah teu ngegeubahkeun. (Ah, perasaan aku diem aja gak ngagetin)"

Malah dengan diamnya wanita itu di belakang Isti tanpa suara, lebih dari cukup mengagetkannya.

"Iraha mulang? (Kapan pulang)" tanya Isti kemudian seraya menyampirkan pakaian terakhir pada jemuran kawat, lalu mengambil wadah jemuran kosong. Mereka berjalan meninggalkan pakaian basah yang berjejer, menuju kursi rotan panjang yag ada di sana. Kursi panjang yang biasanya untuk Ayah Isti dan ibunya ngadem di sore hari sambil melihat pemandangan sawah.

Bagian belakang rumah orangtua Isti menghadap kebun yang menampung beberapa pohon buah-buahan lokal. Buah delima yang kini sudah langka sekali tumbuh buahnya, ada jambu air pucuk-pucuknya lumayan tumbuh banyak. Namun kebanyakn adalah pisang yang kini bahkan sudah terlihat tumbuh.

"Tadi malem." Anisa menjawab sembari mengeyakkan tubuhnya di kursi rotan itu.

"Terus reuk naon isuk-isuk geus aya didieu. (Terus mau ngapain pagi-pagi sudah kemari)"

"Emangna ulah? (Memang gak boleh)," kata Anisa menatap Isti. "Biasa nage tara ngomong kitu, (Biasanya juga gak pernah ngomong begitu)" Anisa mendelik, nadanya sengaja ia buat seolah ia sakit hati. Namun Isti tidak menanggapinya karena kemudian ia berkata.

"Pan anda teh pengantin baru. ('kan anda itu pengantin baru)" sengaja menekan satu kalimat saat bicara barusan.

"Naon urusanna? (Apa hubungannya)"

Permata Untuk HamishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang