Persiapan hajatan sudah terpampang jelas di depan mata. Dekorasi didominasi kain berwarna putih gading, coklat dan emas menghiasi dalam dan luar rumah. Orang-orang terlihat sibuk keluar masuk.
Suasana rumah yang akan diadakan hajatan memang selalu sesibuk itu. Banyak sekali tetangga yang datang sekedar untuk membantu persiapan acara. Memasak menjadi ajang ibu-ibu untuk berkumpul dan juga bergosip. Isti yang baru memasuki dapur tersenyum saja mendengar gelak tawa ibu-ibu. Aroma daging, sayuran bercampur, bahkan sambal memenuhi dapur yang sangat luas tersebut.
Salah satu dari kelima ibu-ibu yang ada di sana melirik seorang wanita dengan perut sedikit besar yang duduk di salah satu kursi. "Neng Sari, amit-amit," katanya. Sebab sejak tadi mereka sedang membicarakan seorang wanita di desa mereka yang baru pulang dari luar kota beberapa minggu lalu. Wanita yang mereka tahu belum menikah, melahirkan seorang anak dengan ibu jari tidak sempurna.
"Nya tong nggosip nu henteu-henteu atuh ceu, (makanya jangan bergosip yang tidak-tidak.)" tukas wanita bernama Sari tersebut sambil mengelus perutnya.
Isti baru melewati ambang pintu ketika melihat Sari berdecak, tangan kanannya masih mengelus perut. Didekatinya Sari yang duduk dengan dengan kaki lurus ke depan, sementara punggungnya bersandar ke tembok. Isti melirik wadah besar berwarna biru yang menampung kentang-kentang yang belum di kupas di sebelah kanan Sari.
"Ti tadi di dangukeun teh ngomongkeun kagorengan batur we, (Didengerin dari tadi bicara kejelekkan oranglain)," kata Sari pada Isti di sampingnya.
"Tong didangukeun, teu sae kange di dede. (jangan di dengerin, gak baik buat dede bayi,)" Isti balas berbisik.
Sari mengangguk, mengikuti perkataan Isti untuk mengabaikan ibu-ibu di sana yang masih asik bergosip ria. Keduanya mengerjakan pekerjaan mengupas kentang sambil sekali-kali bercakap-cakap.
"Atos jalan sabaraha bulan, Sari? (Udah jalan berapa bulan)" tanya Isti.
"Ntos jalan 6 bulan, Teh, (Udah 6 bulan)" jawabnya.
Isti tersenyum memandang perut Sari. Usia Sari sebaya dengan Asti, adiknya. Wanita itu menikah delapan bulan yang lalu.
Isti tersenyum dan mendengar dengan takjim ketika Sari bercerita tentang anaknya yang kata dokter berjenis kelamin laki-laki, diketahuinya dua minggu yang lalu ketika terakhir kali Sari cek kehamilan rutin. Namun di tengah cerita itu, seorang perempuan yang kira-kira lebih tua sekitar tujuh atau delapan tahun dari isti, mendekat dan bicara, "teu kabita, Is (enggak kepengen, Is)?"
Isti menoleh, memandang wanita gemuk yang, jika Isti berdiri tingginya hanya sampai sebatas telinganya, sengaja mengambil duduk di dekatnya. "Sanes teu kabita ceu, masa hamil nyalira wae, (bukannya gak kepengen, masa mau hamil sendiri)" jawab Isti.
"Nya atuh gera nyusul. (Ya segera nyusul dong.)" celetuknya ringan tanpa beban. Seolah sedang menyuruh Isti memetik buah apel di atas pohon yang tingginya hanya sebatas dada.
Isti pikir tidak membalas ucapan wanita yang bernama Ceu Imas itu merupakan jalan terbaik. Namun diamnya ternyata membuat satu lagi seorang wanita yang sangat kurus, yang tadinya sibuk ikut bergosip dengan ibu-ibu yang lain, malah mendekati mereka.
"Sari tos hamil. Anisa bade nikah. Sok sekarang mah gera Isti. (Sari Udah hamil. Anisa mau menikah. Sekarang giliran Isti.)"
Isti tahu bahwa usianya di bawah mereka berdua. Tapi apakah sopan bicara dengan topik yang menurutnya, sangat menyinggung, seperti itu?
Tapi Isti tidak akan heran sebab yang bicara terkenal sebagai salah satu anggota bergosip di desanya. Namun tetap saja, rasanya tidak nyaman.
"Ceu Iroh teh tong nyarios kitu atuh, (Ceu Imas jangan bilang begitu,)" tegur Sari sambil melirik tidak enak pada Isti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Permata Untuk Hamish
General FictionBelum menikah di usia yang cukup dewasa bukan keinginan Istiara, bahkan karena statusnya ia menjadi sasaran gosip orang sekampungnya. Sampai pada suatu hari sebuah lamaran dari seorang duda beranak satu dari kota datang, tentunya setelah ini ia tida...