Typo dan segala tetek-bengeknya mohon di maklumi 🙏
Heppi reading 😘
***
Semilir angin pada sore hari cukup membuat bulu roma di kulit wajah berdiri. Tidak ada satupun debu halus yang ikut terbang bersama hembusan angin, membuat siapapun leluasa menghirup udara.
Karenanya sebuah senyuman timbul di bibir wanita yang saat ini tengah menelusuri jalan yang di kelilingi oleh petak-petak sawah di sisi jalan kiri dan kanan. Suasana di sebuah pedesaan tidak pernah mengecewakannya. Keasriannya masih sangat terjaga. Hampir seluruh warga di desa itu memilih bertani untuk menyambung hidup, tapi tak sedikit yang berternak. Maka dari itu, rumput-rumput liar yang sangat hijau dan panjang tidak pernah dipangkas habis, karena dari situ ternak-ternak di sana makan.
Ia merapikan ujung jilbabnya yang sedikit tersingkap oleh angin. Masih berjalan dengan langkah lambat sambil merasakan batu-batu kerikil kecil yang di tapakinya melalui sepatu pantopel.
Pandangan mata berganti arah, jika tadi ia melihat petak sawah, pemandangan gunung membuatnya mendongak. Gunung itu tampak seperti lukisan dari tempatnya sekarang. Wanita yang saat ini masih berjalan sendirian tersebut makin melebarkan bibir. Tersenyum puas pada panorama yang memanjakan kedua retinanya.
Kemudian sebuah suara cempreng yang terdengar di belakangnya, menarik kepalanya untuk menolah.
"Bu gulu, bu gulu." Suara cempreng itu memanggil, membuatnya langsung menghentikan langkah. Dan ia menunggu anak kecil perempuan itu mendekatinya bersama sang ibu yang menuntun tangannya.
"Teu acan mulang? (belum pulang)," dia bertanya.
"Ka toko Bi Asim hela penginten, bu guru. (habis dari toko bi Asim dulu, bu guru)," jawab ibu dari bocah tersebut.
"Oh, muhun. (begitu)"
"Meni nyalira wae bu Guru teh. (Jalan sedirian aja, bu Guru.)"
Dan dirinya hanya tersenyum. Namanya adalah Istiara Permata Baharudin, nama pendeknya Isti. Tapi wanita berusia 29 tahun itu memang sering dipanggil bu guru oleh setiap orangtua murid. Isti sendiri merupakan seorang pengajar di sekolah PAUD yang ada di desa itu, dan bocah perempuan berusia lima tahun tersebut adalah salah satu muridnya.
Ketiganya melanjutkan perjalanan yang ditempuh dengan berjalan kaki yang diisi dengan percakapan antara Isti dan orangtua muridnya. Sampai di pertigaan ketiganya berpisah karena berbeda jalan pulang.
Isti kembali sendirian. Tapi dari situ tidak lama lagi ia akan sampai rumah.
Pada saat akan melewati jalan gang, Isti melihat sosok yang sangat di kenalnya, berdiri dengan posisi menyamping beberapa langkah di depannya. Isti tersenyum, dalam hati senang sekali akan ada orang yang kembali menemaninya sampai rumah.
"Kamu teh bisa 'kan baliknya lagi kalau kita udah nikah?"
Kening Isti mengerut saat mendengar orang itu bicara. Isti pikir orang itu sedang sendirian, ternyata tembok yang mengarah ke sisi kanan menghalangi sosok lain.
"Bisa, As. Bisa banget, waktu beberapa bulan aku di sini kita manfaatin untuk pernikahan kita."
"Tapi bapak sama ibu teh belum ngasih ijin, kecuali teh Isti nikah duluan,"
Percakapan kedua orang itu membuat langkah Isti otomatis terhenti. Dada Isti seketika berdebar takut ketika namanya di sebut dalam percakapan yang terdengar serius. Reflek Isti merapatkan tubuhnya ke sisi pojok agar keduanya tidak melihat keberadaan dirinya.
"Loh, bukannya kemarin kata kamu ada yang ngelamar?"
"Gak jadi!" balas wanita yang kini posisinya membelakangi isti, ia terdengar kesal kemudian saat melanjutkan, "Lalaki teu ecreg, keluarganya teh bilang mau dateng ke rumah, pek laki-laki na malah jeng awe-awe lain. (laki-laki gak bener, keluarganya bilang mau datang ke rumah, tapi malah sama wanita lain.)"
KAMU SEDANG MEMBACA
Permata Untuk Hamish
General FictionBelum menikah di usia yang cukup dewasa bukan keinginan Istiara, bahkan karena statusnya ia menjadi sasaran gosip orang sekampungnya. Sampai pada suatu hari sebuah lamaran dari seorang duda beranak satu dari kota datang, tentunya setelah ini ia tida...