PUH 10

2.4K 401 49
                                    

Maafkeun typo yang bertebaran, gak sempet ngedit, langsung gaspoll.

heppi reading, eperi badiiih.


*** 


Di sore hari yang mendung di belakang rumah, angin bertiup terasa menusuk kulit, tapi tidak mengganggu Isti yang sedang mengangkat jemuran. Setelah menaruh semua pakaian kering ke dalam keranjang, Isti mendongak. Langit berwarna abu-abu kelam, tak sampai satu jam lagi awan akan mencurahkan airnya untuk membasahi bumi. Tapi tidak ada satu pun orang di dalam rumah yang memperdulikan jemuran yang sudah kering dan mungkin akan kembali basah jika saja Isti tidak masuk ke dalam dapur dan melihat jejeran pakaian menggantung di jemuran berkibar-kibar karena angin. 

Isti mengangkat keranjang dari tanah dan membawanya ke dalam rumah tanpa melewati dapur yang saat itu sedikit sesak oleh beberapa tetangga yang sedang memasak. Ia memutar jalan ke samping, masuk lewat pintu depan.

"Oh enya, (oh iya)" kata ibu Isti di ruang tengah rumah, beliau menatap keranjang pakaian yang Isti bawa. "Mamah teh poho. (mamah lupa lagi)"

Isti tersenyum muklum. Ibunya jelas tak akan ingat ada jemuran, sibuk mempersiapkan pernikahan anaknya membuatnya lupa dengan segala hal, termasuk hal sepele. Lagi pula, mana beliau ingat jika yang menyuci saja bukan dirinya. Isti membawa keranjang ke akmar dan membiarkan ibunya kembali sibuk mengobrol dengan Ua Aminah yang beberapa menit sebelumnya datang dengan niat ingin membantu, tapi Isti yakin ibunya tak membiarkan niat itu terwujub karena terus mengajak Ua Aminah mengobrol dan tidak mengijinkan Ua Aminah pergi ke dapur.

Di atas tempat tidur, Isti memisahkan pakaian sehari-hari yang akan dilipatnya dengan pakaian yang akan di setrika nanti. Di dalam kesunyian kamar, Isti bisa mendengar suara tawa ibu-ibu yang menembus pintu kamar. Kepala Isti menggeleng. Sudah dua hari rumahnya selalu ramai dengan tetangga yang berdatangan untuk membantu. Dan tiba-tiba saja Isti menghentikan gerakan tangan melipat lengan baju. Sedikit menoleh, Isti melihat kalender di atas meja riasnya, kedua matanya terfokus pada tanggal yang dilingkari spidol merah.

Sedikit mengembangkan senyum di bibir, Isti kembali menyelesaikan pekerjaannya melipat pakaian. 

Waktu memang seperti melompat-lompat. Hari berlalu tanpa terasa. Minggu berganti berganti menjadi bulan, hingga waktunya semakin dekat pada pernikahan. Dan pada tanggal 04 April, lebih tepatnya bisok lusa hari itu tiba. 

Sudah enam hari Isti berada di rumah, tidak kemana-mana. Cuti dari mengajar. Menurut kata ibunya, yang pastilah mendengar dari orang jaman dulu, bahwa wajib hukumnya bagi seorang mempelai pengantin untuk tidak berpergian jauh sekiranya satu minggu sebelum pernikahan diadakan.

Bisa kemana sebetulnya Isti? tempat mengajarnya saja bisa ditempuh dengan berjalan kaki, namun ibunya tetap tidak mengijinkan pergi, kan. Bahkan ke warung saja dikuntit ibunya, atau Asti. Tapi tidak ada kata yang bisa ia gunakan untuk protes. Jika ibunya berkata demi kebaikannya, maka menurut tidak ada salahnya.

Dalam kebosanan yang merajai hatinya, Isti sedikit kesepian. Godaan Anisa tentang malam pertama yang membuat wajah Isti memerah, tak bisa selamanya mengalihkan perhatiannya. Saat mengobrol dengan Asti pun, Isti selalu melamun.

Beberapa waktu yang lalu, ada hal yang mengusiknya. Dengan menahan malu tapi tidak bisa menahan rasa penasarannya, Isti bertanya pada Anisa, "Waktu kalian di pingit, si A Andre teh kumaha (gimana)?" 

"Muring-maring cenah mah, (katanya gelisah)" Anisa tertawa, matanya menerawang mengingat momen itu. "Nelponan we hayoh ungal peuting, (Nelpon terus tiap malam)" Anisa selalu mengolok-olok suaminya sendiri yang bucin kepadanya. Dan tidak perlu diberitahu, Isti bisa melihat sendiri kalau suami Anisa itu cinta mati pada istrinya. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 11, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Permata Untuk HamishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang