Detak jarum jam begitu terdengar halus oleh telinga, selimut tebal menutupi seluruh raga hanya tersisa kepala yang terlihat dan tak tertutupi rumpukan selimut. Shaka enggan menutup matanya, bahkan menyejajarkan tubuhnya dalam keadaan rileks.
Lalu ia baringkan tubuhnya ke kanan memandang lurus fotonya bersama Freya yang terletak di atas meja belajar samping kasur. Sorotan cahaya bulan dari jendela menampakkan beberapa debu yang menempel di kaca figura, Kedua tangannya spontan menyaut figura itu dan mengusap kotoran debu di kaca tersebut.
Begitu lembut jemarinya menyentuh foto seorang Freya bersamanya, mereka berdua memanglah tampak dekat jika dilihat dari foto itu. Terlihat Freya tersenyum manis dalam sandaran dada Shaka dan tangan kiri Shaka mendekap kepala Freya seakan ingin mengacak-acak poninya, tentunya dengan ekspresi wajah yang datar.
Ingatannya hampir terbawa ke masa lalu, kenangan itu sungguhlah manis jika dibayangkan. Namun ia berusaha keras menolak jatuh dalam imajinasi memori waktu lampau, rasa sesak di dada bersama kantuk yang semakin berat menuntunnya terjun dalam imajinasi yang lain, kisah yang tidak nyata.
"Semuanya indah, tapi sekarang kamu ada di tempat yang lebih indah."
Ia mematikan lampu tidur sembari meletakkan figura itu kembali ke tempat semula. Hanya cahaya sinar bulan yang menerangi malamnya bersama jutaan bintang dan bunga mimpi dalam lelap tidur Shaka.
****
Di halte yang sama seperti hari kemarin saat Shaka berdiri frustasi di depan kursi, Stella sibuk dengan gadgetnya. Ia duduk santai nan acuh dengan orang-orang sekitar, begitu juga orang-orang lain yang duduk di halte tersebut.
Mungkin saat ini memang terlalu pagi untuk menunggu bus pertama berhenti di halte, langit penuh mendung bagai tak ingin membiarkan sang surya menyinari seisi bumi. Karena takut kehujanan maka Stella datang ke halte lebih awal.
"Hufftt..."
Sedikit ia sesali mengapa ia harus berangkat sepagi ini, pada kenyataanya rintik hujan mulai turun dari langit satu dua tetes tiap detiknya. Stella memasukkan smartphone ke dalam tasnya seiring hujan yang semakin deras, dalam hatinya harap-harap cemas menanti bus segera datang.
Di tengah hujan lebat, dari kejauhan tampak seorang siswa yang berseragam sama dengannya sedang berjalan menuju halte juga. Namun Stella tak bisa mengenali wajahnya dengan jelas sebab tertutup oleh payung, Stella tak mau berpaling dan terus memerhatikan ia yang semakin dekat menuju bangku halte.
"Shaka?" Sapanya keheranan.
Tapi dengan sekilas rasa herannya langsung hilang sebab ia masih ingat kalau kemarin Shaka datang dan duduk di halte lebih pagi darinya, jadi wajar saja jika Shaka juga berangkat di waktu yang terbilang masih sangat pagi.
"Huhhh... Hujannya deras." Ujarnya sembari menutup payung lalu duduk di samping Stella.
"Iya, busnya juga nggak kunjung datang." Balas Stella.
"Sebentar lagi bus pertama juga datang kok, tenang saja. Lagipula ini sudah hampir jam enam."Shaka coba meredakan suasana tegang, ucapannya membuat ekspresi Stella berubah lebih tenang dari yang semula cemas.
Shaka meletakkan payungnya di kursi sambil menggosokkan kedua tangan dan menempelkannya di pipi. Walau membawa payung dan memakai jaket, ia tetap tidak bisa melawan dinginnya udara. Sama halnya seperti Stella yang sebenarnya sejak tadi mencoba tegar melawan hawa dingin.
Tiba waktunya apa yang mereka nanti kini sudah datang. Bus pertama mulai terlihat berjalan semakin mendekat menghampiri halte di bawah derasnya terpaan hujan. Semua penumpang yang menunggu di halte segera berdiri dan bersiap masuk dalam bus.
YOU ARE READING
Diary Stella
Teen FictionCerita ini bermula saat Shaka, seorang siswa 11 IPA 1 yang terkenal pendiam bertemu dengan siswi yang begitu usil yaitu Stella. Kesan pertama yang menjengkelkan bagi Shaka saat bertemu dengannya, secara kebetulan mereka duduk satu bangku di kelas. T...