"Kenapa aku harus sebangku dengannya sih?"
"Padahal cuma lecet sedikit, tapi galaknya seperti singa betina."
Shaka terus bergumam sepanjang perjalanan, untungnya tidak ada yang melihat. Jika itu terjadi, bisa-bisa ia dianggap gila oleh warga karena bicara sendiri. Hari yang sungguh membuat mood-nya berantakan, seorang anak baru yang ia temui pagi ini benar-benar susah luput dari ingatannya.
Dalam hatinya ingin bersikap masa bodoh, tapi pikirannya masih terkendali amarah. Gara-gara lecet di siku gadis itu saat terpleset di kamar mandi, Shaka terus diomeli olehnya sampai jam pelajaran hari ini berakhir.
Kurang lebih tinggal berjalan sekitar tiga ratus meter lagi Shaka sudah sampai rumah. Kini ia tak ingin lagi pikirannya dipenuhi hal-hal yang ia alami di sekolah hari ini. Pulang, lalu mandi, mengantarkan jahitan para pelanggan.
"Hahhh... Sudahlah."
Ia memperlaju langkahnya, rumah sudah terpampang jelas di depan mata, dan Shaka mendadak perlambat langkah setelah kehabisan nafas dan hampir terengah-engah. Dia menahan diri agar tidak berkeringat, sebab seragam putih abu-abunya besok masih dipakai.
"Paman... Aku pulang..."
Sifat dasarnya Shaka memang agak tidak rapi, terlihat dari caranya melepas sepatu dengan kasar dan asal menempatkan sepatu dengan melemparnya meski terjatuh di sekitar rak dengan beberapa sepatu lain yang usang.
Begitu juga caranya meletakkan tas, berhubung jalan menuju halaman belakang melewati kamarnya dengan cara yang sama seperti ia menaruh sepatu ia peragakan pada tas dan ia daratkan pada kasur melewati pintu kamar yang terbuka. Mungkin saja memang ada hal yang segera ingin ia katakan pada pamannya sehingga tingkahnya yang pecicilan itu muncul.
"Iya?" Ia sempat menoleh sejenak sebelum keponakannya tiba menemuinya di kebun belakang rumah. Setiap hari Paman Rey selalu sibuk mengurusi melon hasilnya bertani, namun sebenarnya itu bukan pekerjaan utamanya.
"Besok sudah waktunya aku membayar SPP, jadi paman jangan lupa ya. Hihi.." Jawabnya cengengesan.
"Iya... Paman tahu." Ucap Paman Rey singkat, peluh keringat tak mengijinkannya berkata banyak. "Hahhh... Bilang sama Bibi, hari ini kita makan opor." Sambungnya dengan desahan lelah sembari mengusap keringat yang menetes.
"Hmm..."
Ia juga merasa lelah dan lapar sepulang sekolah, sama seperti Paman Rey. Apalagi opor ayam adalah makanan kesukaan Shaka, tak ada lagi sepatah katapun terucap untuk menjawab perintah pamannya ia langsung berlari ke dapur mencari bibinya.
"Bibi... Paman bilang hari ini kita makan opor." Ujarnya pada sang bibi yang sibuk mencuci piring.
"Baiklah, kalau begitu belikan daging setengah kilo di pasar. Sisanya nanti bisa kamu belikan bunga." Balas sang bibi dengan menyodorkan uang lima puluh ribu rupiah.
"Terima kasih bibi."
Tangannya begitu cekatan menyembunyikan uang di saku celana, mungkin saja karena tak tahan lapar dan ingin segera bergegas menuju pasar. Tapi sejujurnya Shaka lebih suka menghabiskan kembaliannya, kebiasaan kekanak-kanakan yang susah luput di usia remaja.
Menunggu adalah salah satu hal yang paling Shaka benci, ia bergegas meraih totebag di atas meja lalu berlari kecil meninggalkan dapur.
"Aku berangkat dulu.."
******
Meski waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore, terik mentari masih begitu menyengat bagai membakar kulit. Jalanan aspal akan terasa sepanas arang yang masih terbakar kala diinjak kaki telanjang. Seorang gadis berbondong-bondong membawa belanjaan dari minimarket, namun tampak bingung harus bagaimana membawanya.
YOU ARE READING
Diary Stella
Teen FictionCerita ini bermula saat Shaka, seorang siswa 11 IPA 1 yang terkenal pendiam bertemu dengan siswi yang begitu usil yaitu Stella. Kesan pertama yang menjengkelkan bagi Shaka saat bertemu dengannya, secara kebetulan mereka duduk satu bangku di kelas. T...