6. Seabadi Edelweiss

2K 98 4
                                    

Mereka kini sampai ke sebuah pelataran, pemandanganya memang indah disini. Panjangnya jalan Soekarno-Hatta dapat dilihat dari atas sini.

"Mana tendanya? Biar aku dirikan." Ucap Josh mengacaukan lamunan Dinar akan keindahan Kota Bandung dari atas sini. 

"Eh itu di ransel keluarin aja."

***

Hari menjelang malam. Senja langit menemani Dinar dan Josh yang sedang asik menyeduh minuman hangatnya. Josh dengan kopinya, dan Dinar dengan susu kental manisnya. Sunset datang dan menyajikan pemandangan lain di Kota itu, Citylight. Lampu lampu kota yang sebesar titik itu sangat indah dilihat dari atas sini.

"Maaf." Ucap Josh membuka pembicaraan.

"Maaf? Untuk apa?" Tanya Dinar heran.

"I don't know. Aku pikir kau marah padaku." Ucap Josh.

"Kau tidak bisa meminta maaf untuk apa yang tak kau sesali. Dan kau tak bisa menyesali yang tak kau ketahui bukan?" Balas Dinar tersenyum sinis.

"Jangan meminta maaf untuk apa yang tak kau sadari Josh."

"Karena aku sudah banyak menyusahkanmu, karena aku sudah nengacaukan hidupmu, karena aku..." Josh terdiam takut salah ucap malah menyinggung Dinar.

"Apalagi?" Balas Dinar menyadari ucapan Josh belum selesai.

"Karena aku memaksamu untuk mendaki gunung." Ucap Josh berhati hati. "Bahkan aku tak tau harus membayarnya dengan apa." Sambung Josh.

"Lunas." Dinar tersenyum mengabaikan ekspresi Josh yang tak mengerti. "Karena kau menggagalkan gunung untuk merengut sesuatu lagi dariku, kau selamatkan nyawaku dan itu sangat berharga."

"Kau salah Dinar, gunung tak begitu." Josh menepuk bahu Dinar lembut, sebisa mungkin ia tak ingin menyinggung Dinar dan merubahnya menjadi Anjing Herder lagi.

"Kau takkan berbicara begitu jika kau tak pernah direnggut sesuatu olehnya. Aku sudah merasakannya, kakakku, kisah cintaku, semua Josh."

"Kau takan mengerti bagaimana seorang penjelajah mengurungkan keberanianya dan memutuskan berhenti mendaki." Sambungnya kini dengan derasan air mata mengalir membasuhi pipinya. 

"Kau takan mengerti ketakutan ku Josh, hidupmu tak serumit ini." Kini suara Dinar memelan hampir tak terdengar.

Josh memeluk Dinar erat. Diusapnya rambut gadis itu dengan halus. Dinar tak bisa memperdulikan air matanya yang terus membasahi baju Josh itu.

Dinar melepaskan pelukanya dan menghapus air matanya. Dia menatap mata biru Josh yang hangat. Ia merasakan kenyamanan dan rasa aman. Mungkin Dinar tak perlu takut akan gunung selama bersama Josh.

"Gunung tak pernah melakukan itu semua, tapi takdir yang merengutnya dari kamu." Ucap Josh menenangkan.

"Dan seharusnya aku bisa merubah takdir kan?" Dinar tersenyum sinis. "Jadi kau berkata bahwa ini salahku Josh."

"Haha you're funny! Gasemua Dinar, kalau memang harus terjadi kalau bukan waktu itu, mungkin sekarang sudah terjadi. Dan kalau tidak terjadi sekarang, mungkin nanti. Gunung hanya menjadi kambing hitam." Balas Josh.

"Don't, Jangan terlalu keras pada dirimu Dinar."

"Kamu boleh berhenti berharap. Tapi jangan berhenti mendaki, karena setinggi apapun Gunung, ia takan pernah membuatmu patah hati." Ucap Josh kembali.

"Tapi, kakaku..." ucap Dinar parau sembari memandang harapan pada bola mata biru itu.

"Kau tak bisa mempercepat kematian dengan naik gunung dan memperlambat kematian dengan tidak naik gunung bukan?" Ucap Josh meyakinkan. Dinar tersenyum serasa ada kepercayaan lagi pada dirinya.

StrangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang