13. Menerima?

1.3K 68 0
                                    

Untuk apa aku disini?
Ragamu pun tak disini.
Jikalau iya tak bisa merubah keadaan.
Aku terluka kini, mungkin kau jauh terluka.
Sakitku ini tak bisa membayar rasanya kedinginan di salju ketinggian 4000mdpl.
Tak bisa membayar patah tulangmu menggelinding jatuh 5 meter.
Tak bisa membayar pahitnya ditinggalkan disana sendirian.
Bahkan kau merelakan untuk impian terbesarmu, impian semua pendaki.
Pulang kembali kerumah.

Sudah 2 jam Dinar disini, tugu kuburan kakaknya. Ya karena jasadnya tidak ada disini. Tertinggal di ketinggian 3800 mdpl.

"Andai saja waktu itu aku mengikuti inginmu untuk kembali kebawah. Aku terlalu egois, aku hanya ingin menggapai puncak padahal ku tau badai menanti di atas sana. Kak... andai aku cukup dewasa mengerti bahwa tujuan utama pendaki itu adalah sampai kerumah dengan selamat." Dinar menarik napasnya berat. Rasanya seperti orang gila melakukan hal ini.

"Aku pasti dapat memelukmu disini menceritakan apa yang terjadi pada hidupku.. tiap detiknya. Aku pasti takkan membenci gunung, walau kini aku sudah dapat mendaki lagi. Ini karena.."

Lidah Dinar pilu dan kata katanya tersendat ditenggorokan. Teringat kembali akan pria itu, padahal semua berjalan sempurna tadi. Dinar sampai lupa sedang terluka karenanya. Luka ditinggalkan kakaknya lebih besar dan menutupi kekacauan hatinya.

Itu sebabnya Dinar memilih kesini. Agar luka yang begitu berat itu terlupakan. Tertutupi oleh luka lebih berat lagi. Luka ditinggalkan kakak karena ulahnya.

"Josh."

"Andai kau tau ka.. dia benar benar indah. Terlalu indah untuk ku miliki." Ucap Dinar kembali pilu.

Dinar duduk dipinggiran nisan kakaknya. Memainkan beberapa ranting. Air matanya terkuras habis entah untuk kesekian kalinya. Dinar menatap langit berbalur awan, hal yang sangat disukai oleh kakaknya walaupun Dinar tak tau mengapa.

Baginya, awan selalu menjadi hal yang menyenangkan. Bahkan awan di sore hari saat senja dapat menghibur hatinya yang terluka.

Dinar selalu tak mengerti, baginya awan selalu begitu. Apa yang indah dari gumpalan asap di atas yang selalu berlagak kuat bertahan diatas sana. Munafiknya ia sewaktu waktu menurunkan bebanya menjadi butiran butiran air dengan sesuka hatinya. Memberi beberapa petunjuk bahwa hujan akan turun tanpa memberi tau bagaimana cara menghentikanya.

Seperti sekarang langit gelap kelabu, matahari tertutup awan. Apalagi yang akan turun selain hujan? Dan itu tak pernah pertanda baik. Hujan menyebabkan badai dan mengakibatkan Dinar harus berdiam diri kini disini, makam kakaknya. Lalu apa yang bisa dilakukan seorang pembenci hujan seperti Dinar? Untuk apa ada pertanda jika kita tidak bisa mengubahnya.

"Kualatku membicarakan awan, kini ia menurunkan apa yang aku benci. Bagus Tuhan, aku tau kau sedang mengujiku. Sempurna."

Perlahan buih buih air dari awan itu mengenai kepala Dinar. Dinar tak mau lari lagi, Dinar mau melawan. Dinar sudah lelah menghindarinya.

Dinar masih duduk terpaku di pinggir nisan kakaknya itu, menikmati tiap tusukan air hujanya butir demi butir.

"Bunuh saja aku perlahan! Apakah pantas untukku? Apa dapat membuat kakaku tersenyum kini? Atau dapat membalikan posisinya dengan ku?" Sesak Dinar berteriak. Terlintas ketidak-adilan dalam hidupku.

"Tapi tolong jawab pertanyaanku. Pantaskah aku salahkan awan? Dan untuk apa aku tau pertanda jika tidak bisa mengubahnya? Kau benar benar menyiksaku dengan penyesalan. Kau tau itukan?" Kini teriakan Dinar diiringi oleh isak tangis yang tak bisa ia tahan lagi.

Pertanda? Untuk apa itu?
Untuk apa Vikri datang jika hanya untuk mengucapkan selamat tinggal?
Untuk apa Aku tau badaikan terjadi bila itu tak menghambat kematian kakakku?
Untuk apa Aku mengenalkan Bella pada Fero padahal aku tau mereka bisa bersatu?
Untuk apa Aku menerima Josh dalam hidupku saat aku tau dia suatu saat kan pergi
Untuk apa langit mendung bila aku tak tau cara menghentikan hujan?

Semua jelas kan terjadi dan aku tau itu, tapi mengapa kau biarkan semua terjadi tanpa bisa aku merubahnya? Bukankah ini takdir? Bukankah takdir bisa diubah?

"Agar kau belajar menerima." Suara pria menghentikan lamunan Dinar. Sekilas terpikir Tuhan menjawab pertanyaannya dengan bijaksana. Dinar menoleh kearah pria yang sekarang telah memayunginya.

"J-josh?" Dinar tersentak mengetahui yang menjawab pertanyaanku itu adalah Josh. Seseorang yang seharusnya berada paling jauh dari hidupku kini.

"I'm not Josh you know that." Barry menyungsingkan senyumnya.

"Untuk apa kau disini?" Tanyaku menatapnya nanar.

Kau datang dalam ketidak pastian.
Bertahan dalam kebingbangan.
Menghilang dalam penyesalan.

Untuk apa kembali jika hanya mengucapkan selamat tinggal?
Kedatanganmu dari awal sudah menjadi kesalahan besar.

"Untuk menjawab segala kebimbangan dalam hatimu." Barry menarik tangan Dinar untuk berdiri. Dinar mengikutinnya dan kini berdiri dihadapanya dibawah payung yang sedang ia pegang.

"Saat kau tau akan pertanda, jangan kau pungkiri. Tak banyak yang dapat kau lakukan selain menerimanya." Sambungnya.

"Lagi pula semua yang terjadi pasti meninggalkan pengalaman kan? Dan pengalaman adalah guru terbaik." Ucapnya lagi sambil menarik ujung pipi Dinar dan mengukirkan senyum disana.

Refleks Dinar malah tersenyum. Harusnya Dinar menangkas tangan Barry, mengeluarkan kata kata kasar dan lari meninggalkanya. Oh tuhan Josh-maksudku Barry- benar benar merubah hidupku. Aku tak sebocah itu kini.

"Nah kan kamu jauh lebih terlihat menerima dengan senyumanmu itu." Ucapnya sambil mengacak halus rambut Dinar.

"Yuk!" Lantas Barry menarik tangan Dinar dan membawaku pergi dari sana.

"Ih apaan sih." Dinar menolak, menghempaskan tanganya dengan kasar.

"Mau kemana?" tanya Dinar

"Ikut aja, kenapa? Masih belum menerima?" Tanya Barry.

"Apa? Enak aja! Sudah bikin kesalahan fatal, disuruh jauh jauh dari hidupku malah datang menghampiriku dan menarik tanganku kasar, akan membawaku pergi. Kau pikir aku akan percaya padamu lagi orang asing? Kau bahkan belum menjelaskan semuanya. Kau bahkan...." Dinar mengomel padanya, tapi Barry tetap tersenyum karena dia tau Dinar sudah tak kesal padanya.

"Belum meminta maaf." Sambung Dinar.

"Aku tak suka tempat ini dan takkan menjelaskanya disini. Kau mau mencoba menerima sesuatu hal yang menakjubkan? Ikut aku." Ucapnya dan kembali menarik tangan Dinar

"Gak!" Dinar melepaskan cengkramanya. "Bagaimana kalau aku tak mau pergi denganmu?" sambung Dinar.

"Ya...yaya terserah padamu." Barry lalu pergi meninggalkan Dinar membawa payungnya. Membuat rintikan air hujan kembali membasahi kepala Dinar.

Dinar berlari mengejarnya karena Dinar membenci momen dimana air hujan mengenai bagian tubuhku. Sementara Josh malah ikut berlari menghindar menghampiri Rubiconya.

"Damn you Josh!" Ucap Dinar mendekati Josh. Dinar kini berdiri di hadapanya. Memandang mata birunya yang sudah lama tak ia pandang sedekat ini lagi.

Josh tersenyum. Dia terus mendekatkan dirinya kearah Dinar yang membuatnya berdegup kencang, Dinar merasa tak ada jarak tersisa antara Barry dan dirinya. Barry terus mendekatkan dirinya pada Dinar membuatnya gugup dan memejamkan kedua matanya.

"Jangan benci awan, dia selalu merelakan tiap air yang berjatuhan ketanah. Meski tau tak akan kembali." Bisik Barry ditelinga Dinar.

StrangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang