Yuhuu! Ayem coming. Nggak pake drama cuz baca aja 😁 pokoknya sayang kalian banyak-banyak.
💔💔💔
Aku tersenyum membaca chating WhatsApp di grup kelas alumni SMA. Tidak banyak yang berubah dari mereka, tetap ramai dan seru. Aku ingat betul kelasku anaknya lebih banyak yang ramai daripada yang pendiam, meskipun begitu, kami kompak jika ada lomba antar kelas. Tidak penting kalah atau menang, terpenting kami ikut memeriahkan acara tersebut.Timbul. Teman sekelasku ini sungguh lucu. Dia bersama Aldo dan dua orang lainnya pencetus keseruan di kelas, tapi sekarang Aldo tampak berbeda dengan dulu. Pria itu tampak berwibawa juga dewasa. Ah, aku baru ingat jika aku belum membalas pesannya. Segera kututup grup lalu beralih membuka pesannya yang mengomentari waktu aku beli batagor di samping toko.
Widiw, batagor tetep no satu ya
Hahaha. Tetep, enak soalnya.
Maaf baru buka pesan.Tak menunggu balasan darinya, aku tutup nama Aldo tepat Mas Hakim duduk di sebelahku. Ia melirik sekilas kemudian meraih laptop dan mulai bekerja. Seperti itulah setiap harinya, dia akan sibuk dengan semua urusannya, dan aku seperti orang asing baginya.
"Mas, besok aku ke toko. Mungkin pulangnya agak malam. Akhir bulan, waktunya buat rekapan," ujarku memberitahu. Setelah perdebatan waktu itu, aku putuskan mengambil pilihan yang dia berikan daripada sama sekali tak diperbolehkan ke toko. Untungnya Serly mau mengerti dengan keadaanku. Ah, dia memang teman yang pengertian.
"Hm. Langsung ke rumah Ibu saja. Kita nginap di sana," ucapnya tanpa melihatku. Dia fokus dengan laporan dari toko mebel dengan sesekali membalas pesan WhatsApp dari beberapa orang, termasuk Mbak Amel.
Aku melihatnya dengan kening berkerut. "Ibu mau ada acara?"
"Iya. Syukuran Hana naik jabatan."
"Kok Ibu nggak ngasih tahu aku, Mas?" Denyutan nyeri di hati menguat. Tak dianggap dan benar-benar orang asing. Lalu apa artinya aku diseret masuk ke keluarga mereka.
"Ibu nggak mau ganggu kamu ...."
"Tapi kalo ganggu Mbak Amel nggak apa-apa? Gitu? Jadi fungsinya aku apa? Coba bilang, aku ini apa?" Emosiku terpatik oleh sakit hati. Kemarahan yang aku tahan dan berusaha hilangkan nyata tetap ada. Aku tak mau cemburu dengan mereka tapi setelah melihat dengan mata sendiri, ragu itu menggedor kuat yang mau tak mau harus dibuka.
"Ocha!"
Tatapan tak suka Mas Hakim labuhkan untukku. Kedutan di rahang menandakan dia tak suka dengan ucapanku. Biar saja dia tahu jika aku tak menyukai kedekatan mereka. Sudah cukup satu tahun ini aku meredam semua pikiran buruk, dan rasa tak nyaman di hati, tapi saat ini aku tak mampu lagi menahan lajunya untuk tidak meledak.
Aku tak akan mundur. Menantangnya membutuhkan tenaga tapi aku yakin mampu. Aku tak ingin seperti ini terus, harus tahu bagaimana posisiku di hidupnya maupun keluarganya. Aku beringsut menjauh dari sisinya. Duduk berlawanan arah agar bisa melihat reaksinya ketika aku mengeluarkan semua pikiranku.
"Apa? Mas nggak suka aku bawa-bawa Mbak Amel? Aku lebih nggak suka Mas sama Mbak Amel dekat .... " Air mata sialan ini keluar tanpa bisa aku tahan lebih lama padahal aku tak mau terlihat lemah di depannya. "Kadang aku nggak ngerti apa fungsiku selain untuk ditiduri. Satu tahun coba mencari celah hatimu, berusaha mengerti bagaimana suamiku. Menurutinya dengan harapan dia lebih terbuka, tersenyum bukan tatapan dingin. Nyatanya nihil. Bahkan kue kesukaan Mas saja aku nggak tahu. Istri macam apa aku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Pernikahan Terpaksa
RomanceSaat sebuah ikatan menjadi belenggu, hanya ada dua pilihan. Bertahan atau melepasnya.