Yuhuuu. Hakim Bao balik wkwkkw.
Spam komen yak.😘😘😘
Sudah dua hari ini Mas Hakim kelihatan aneh. Iya aneh. Dia seperti mendiamkan aku dan aku tak tahu sebabnya. Pasti kalian bertanya bagaimana aku tahu, karena apa pun yang aku tanyakan atau katakan dijawab gumaman dan itu mengusik pikiranku.
Seperti saat ini misalnya, meskipun kami duduk bersisian—di tempat tidur—tapi rasanya jauh, seolah ada jurang di antara kami. Aku amati lamat-lamat wajah tegas tanpa ekspresi itu, sebelum sebuah pertanyaan meluncur dariku. "Mas, aku ada salah ya sama kamu?" tanyaku dengan suara bergetar. "Aku bikin salah apa?" lanjutku. Iya, aku berbuat apa padanya? Seingatku aku tak berbuat apa-apa. "Dua hari Mas kayak gini dan aku nggak tahu apa yang bikin Mas gini."
Kulihat dia menghela napasnya dalam-dalam. Ia tersenyum kecil dan menggeleng. "Nggak apa-apa. Kamu mau makan apa? Biar Mas buatin." Ia turun dari kasur setelah sebelumnya menonaktifkan laptop di pangkuannya dan meletakkannya di kasur.
Dia menghindar. Walaupun bilang tidak apa-apa tapi dia menyimpan sesuatu. Kuamati semua gerakan dia, bahkan ketika Mas Hakim menimpa singlet dengan kaus longgar, dia tak melihatku sama sekali. "Tumis kangkung sama telur dadar," jawabku, ia mengangguk lalu keluar kamar.
Sepeninggalan Mas Hakim, aku termenung, mencoba mengingat-ingat kejadian atau omongan yang membuatnya seperti itu. Sekelebat bayangan percakapannya dengan Aldo melintas cepat. Apakah karena itu? Apa ... cemburu? Mas Hakim cemburu? Tapi ...
"Ini."
Suaranya menginterupsi lamunanku. Ia meletakkan tumisan, nasi plus telur dadar di meja lalu mengambil laptopnya dan duduk di sofa. Tidak memperdulikan aku sama sekali. Baiklah.
Tanpa banyak bicara aku turun dari ranjang, duduk agak jauh darinya, dan makan dalam diam. Jika dia mendiamkan aku karena cemburu, aku bisa berlaku sama. Ibarat kata, lo jual gue beli. Hanya obrolan tak jelas membuatnya seperti itu, apa kabar hatiku melihat interaksi dia sama Mbak Amel.
Usai mengisi perut, aku membawa semua alat makan kotor itu ke dapur. Di sana Bik Mah sedang menyeduh teh dan aku minta dibuatkan juga. Tak hanya itu, aku membawa camilan yang biasa aku makan ke kamar sebelah. Setelah mengunci pintunya, aku duduk bersandar di kepala kasur ditemani novel yang tersedia di kamar itu.
Entah berapa lama aku tertidur hingga ketukan di pintu mengusik tidurku. Ish, menggangu sekali. Aku meraih bantal dan menutup telinga berharap bisa menghalau suara berisik itu. Namun, gedoran tersebut semakin kuat yang membuatku mau tak mau bangun juga.
Aku beringut sampai benar-benar bersandar di headboard. Melirik beker di nakas, dua dini hari. Cukup lama juga. Dengan langkah pelan aku membuka pintu, dia berdiri tak jauh dari pintu. Saat dia hendak mendekat, aku mengelak dan menuju kamar kami.
❤️❤️❤️
"Jalan, yuk."
Apa dia pikir ajakannya bisa membuka mulutku? Maaf saja, dia salah memilih lawan. Aku memang membutuhkan dia, tapi jangan harap aku akan memohon padanya dan pada akhirnya, dia sendiri yang kebakaran jenggot.
"Mas masakin cah kailan pake udang, ya? Katanya pengin."
Bingung sendiri, kan? Siapa suruh ngajak perang. Ini baru tiga hari belum seminggu, batinku.
"Apa mau yang lain? Biar Mas jalan."
Bibirku tetap bungkam. Aku pura-pura tak mendengarnya, seolah tak ada orang di sampingku. "Bik. Bibik," panggilku keras. "Tolong potongin apel sama apukat," ujarku saat Bik Mah di depanku. Beliau mengiakan kemudian berlalu.
"Kenapa nggak minta tolong Mas? Kan biasa Mas yang potongin."
Lagi-lagi aku abaikan dia. Kesal sekali rasanya didiamkan karena hal sepele. Aku meneruskan menonton drama Korea sambil menunggu Bik Mah membawakan buah. Di tengah asyiknya menikmati buah, tiba-tiba aku ingin pulang. Kangen sama Bunda.
Aku bergegas ke kamar, memasukkan beberapa helai baju ke tas untuk menginap di sana. Rindu sekali bermanja-manja sama Bunda dan Ayah, ingin ... tanganku digenggam erat dan sedikit dipaksa menjauh dari baju-baju itu.
"Mau ke mana?" tanya Mas Hakim dengan pandangan menusuk. Riak parasnya tak bersahabat.
Aku hanya mengangkat alis sebelum mengurai cekalan tangan dia dan kembali mengisi tas hitam itu dengan baju-bajuku. Perang tak akan berakhir sebelum dia mengaku salah. Dia mengacak-acak rambutnya lalu meraihku dalam dekapannya, menciumi kepalaku tanpa henti.
"Maaf," gumamnya terhalang rambutku. "Maafin Mas." Ia melepas pelukannya, menarik daguku agar menatap dia, mengikis jarak kami saat bibirnya menyentuh milikku. Menciumnya lembut tanpa ketergesaan. "Maaf, sudah mendiamkanmu," akunya seraya menempelkan kening kami saat ia mengurai ciumannya. Ia menghela napas lalu mendekapku lagi. "Mas cemburu. Mas nggak tahu apa hubungan kalian dulu tapi mendengar omongannya, Mas tebak dia mantan kamu. Mas nggak suka dia masih simpan rasa sama kamu."
Mas Hakim menghelaku ke sofa dan mendudukkan aku miring di pangkuannya. Menenggelamkan wajahnya di dada dengan lilitan tangan erat di tubuhku. "Mas takut kamu ninggalin Mas."
"Jelas aku ninggalin Mas kalo bikin kesel." Segera dia menarik wajahnya dari dadaku dan menatap dengan pandangan terkejut. Mungkin dia tak mengira aku akan berkata seperti itu. "Iya. Aku bakal pergi, biar aja Mas di sini sendiri kayak kemarin," ungkapku jujur. Aku turun dari pangkuan dia kemudian duduk di kasur sambil bersedekah. Menatapnya garang agar dia tahu aku marah.
"Nggak ada angin, nggak ada hujan diemin aku. Nih ya, kalo ngomong soal cemburu, kamu nggak pantes dan itu belum apa-apa dibanding waktu kamu ganjen sama Mbak Amel," kataku ketus dan tak ada panggilan Mas untuknya. "Perlu kamu tahu, kalo Aldo nggak ke Jakarta, kita nggak bakal nikah. Yang jadi suamiku juga bukan kamu tapi Aldo." Aku menumpahkan semua kekesalan hati biar dia tahu jika sikapnya menyakitiku. "Punya mulut, kan? Dipake itu, jangan dibuat pajangan aja. Tanya baik-baik jangan main marah nggak jelas. Aku tuh beda sama kamu, kalo tanya pasti aku jawab. Nggak kayak kamu, njegidek boyo. Tembok itu lho, kamu itu!"
Aku kembali melipat baju dan masukkan ke tas tak lupa pakaian dalam. Sudah terbayang di benak enaknya ndusel-ndusel sama Ayah. Lagi-lagi gerakanku terhenti karena ulah Mas Hakim. Dia berlutut dengan menggenggam erat tanganku. Wajahnya terlihat muram dan seperti menyesal sudah membuatku marah.
"Maaf. Mas salah. Jangan pergi."
"Nggak mau. Aku tetep pergi."
"Terus Mas gimana?" tanya memelas.
Aku mengangkat bahu, tak peduli dengannya. Kemarahan dan kejengkelanku tak secepat itu bisa padam. "Terserah. Mo jungkir balik juga bodo amat." Aku tak membalas tatapannya dan lebih memilih memperhatikan hal lain, asal bukan wajahnya. "Minggir, deh, aku mau lanjut."
Dia menggeleng, tidak melepas genggamannya. "Nggak. Mas nggak akan biarin pergi. Sampai kapan pun nggak bakal Mas izinin kamu pergi."
"Ck. Apaan, sih. Lepas deh. Mas nggak ada hak ya larang-larang aku ke ...."
"Ada. Kamu nggak boleh pergi tanpa izin dari Mas!"
Dengan kasar aku melepas tangannya. Memukulnya sekuat tenaga dengan kemarahan tingkat dewa sampai-sampai air mata keluar. Dia benar-benar menguji kesabaran. "Jahat banget! Ke rumah Ayah aja nggak boleh padahal ...." Ucapanku terputus oleh tangisan. Ia benar-benar membuatku jengkel.
"Ke mana?" Dia bertanya dengan bingung seperti orang yang baru kena hipnotis.
"Ke rumah Ayah! Aku kangen Bunda. Ma ... males di sini. Mas nye ... nyebelin." Mas Hakim berdiri sekalian menarikku. Mendekap erat, menciumi puncak kepalaku lalu menghela napas dalam-dalam. "Aku mau nginap di ... sana."
"Mas minta maaf. Mas janji nggak akan kayak gini lagi." Pelukan dia benar-benar kuat tapi aku suka. "Ayo tapi makan dulu."
Tbc.
Astagadragon. Drama bumil. Aelah. Pagi-pagi nggak usah bikin baper dong. 😑 Dan mungkin part depan ucapin Babay buat mereka, ya, coz udah waktunya ending 😁
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Pernikahan Terpaksa
RomansaSaat sebuah ikatan menjadi belenggu, hanya ada dua pilihan. Bertahan atau melepasnya.