Halooo! Ceritanya nyoba bikin cowok kaku. Nggak banyak omong tpi bukan pendiam ya.
Cuz lah baca.
🌛🌜
"Huft!"
"Calon manten murung muluk, yang seneng gitu biar aura mantennya keluar." Serly menarik kursi plastik sampai di depanku kemudian mendudukinya. "Kenapa sih? Haft huft haft huft terus. Ada masalah? Cerita dong jangan disimpan sendiri."
Aku tatap Serly lama, berkedip-kedip tapi tak bersuara. Aku kembali menghela napas lalu memeriksa buku pemesanan
"Nyet! Ditanya malah kedip-kedip. Apaan sih? Jangan bikin kepo deh. Muka ngenes banget kayak anak bebek ditinggal induknya gitu. Kenapa sih?" tanya Serly ulang karena aku belum menjawabnya. "Nyet! Buruan cerita kok. Minta di-hih ini orang."
"Aku kayaknya nggak siap nikah deh, Ser."
Serly mendelik. Mungkin dipikirnya aku gila. "Nyet! Nggak usah aneh-aneh deh. Seminggu lagi kalian nikah lho." Dia coba mengingatkanku. "Ini nyata bukan dunia orange. Nggak usah aneh-aneh deh."
Aku tahu itu. Siapa juga yang anggap ini dunia khayalan. Ternyata bukan aku saja yang gila, Serly juga. "Tapi beneran deh, Ser. Aku nggak siap. Nggak tahu kenapa kok makin dekat makin takut gitu," ungkapku dengan ekspresi muram. Seperti ada yang mengganjal di hati tapi aku tak tahu apa itu. "Feelingku nggak enak gitu. Nggak biasanya lho kayak ini."
Serly yang jengkel menoyor kepalaku hilang terdorong ke belakang. "Sok-sokan pake feeling, biasa juga pake dengkul."
Paling tahu memang sahabatku satu ini. Yah, bagaimana tidak tahu? Secara kami berteman mulai awal kuliah. "Suer. Nggak tahu kenapa aku ngerasa dia kayak gimana gitu... entahlah."
"Udah sih buang jauh pikiran yang nggak-nggak. Udah di depan mata juga, mo mundur ya telat. Doa aja yang baik-baik moga semuanya lancar. Rumah tangga kalian langgeng." Dia coba mengubah pikiran gila yang bersarang di otakku. "Dijodohkan bukan berarti kaku ya. Banyak kok yang harmonis. Intinya komunikasi aja," imbuhnya lagi. "Btw, perasaanmu ke dia gimana?"
Perasaanku? Entah. Aku tak yakin. "Nggak tahu."
Mendengar jawabanku Serly tampak ingin memakanku. "Kok nggak tahu sih, Nyet! Udah mo nikah mo mantap-mantap juga masa nggak tahu sih. Sarap nih." Nah kan keluar sudah semburan pedasnya. Serly terlihat mengatur napasnya untuk meredam emosi. "Dah ah stres aku lama-lama sama kamu. Terserah dah gimana ntar, asal jangan aneh-aneh." Serly terlihat pasrah dan menyerah. Jika dilanjut pun akan jadi topik bahasan yang panjang.
Kalau dipikir-pikir, jangankan Serly yang stres mendengar omongku. Aku sendiri stres menghadapi pernikahan ini. Sampai sekarang aku tak habis pikir, mengapa pria itu memilihku dan bukan Mbak Amel lebih dulu kenal? Malah Mbak Amel bekerja dengannya. Logikanya Mbak Amel lah yang harusnya diminta jadi istrinya bukan aku, yang baru bertemu beberapa kali sebelum perjodohan terjadi.
Sudahlah aku berharap semuanya baik-baik saja. Memikirkan hal ini membuat kepala berdenyut, lebih baik aku ke atas untuk istirahat. "Ser, aku ke atas ya, pusing ini. Nota sudah aku siapin."
Aku naik ke lantai dua tanpa menunggu jawaban Serly. Lagipula aku tak yakin dia mendengar karena fokus memeriksa kelayakan barang-barang yang akan diantar.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Pernikahan Terpaksa
RomanceSaat sebuah ikatan menjadi belenggu, hanya ada dua pilihan. Bertahan atau melepasnya.