17

17.2K 1.2K 90
                                    

Holaaa! Puasa masih lancar? Semangat terus buat yang menjalankan. ❤️❤️❤️

****

"Kenapa lagi? Aku ada salah lagi?" tanya dia heran saat aku melihatnya lekat.

Aku menggeleng. Tidak, cuma entah kenapa setelah kepulangan Mbak Amel ingin sekali ndusel-ndusel (menempel tidak jelas) sama Mas Hakim. Aku merapat padanya— tengah berbaring sambil bermain game—lalu memeluknya seraya menghirup wangi cologne yang dia pakai.

Ya ampun, obat mual yang sangat mujarab padahal wanginya sudah memudar. Aku melingkarkan tangan ke pinggangnya dan semakin merapat pada dia sampai akhirnya ia meletakkan ponsel hitam itu dan membalas pelukanku. Ia mengubah posisinya hingga miring kepadaku, memberi keleluasaan untuk menikmati dadanya.

"Kenapa, Mas, nggak bilang kalo Mbak Amel pernah bilang suka sama Mas?" tanyaku seraya mendongak menatap dia.

Pelukan dia mengetat sebelum diurai dan menjawab pertanyaanku. "Karena bukan hal yang perlu dikatakan. Kadang kami nggak sama kayak perempuan, Cha, yang apa-apa harus dikatakan. Yang bagi kami nggak penting, cukup kami yang tahu. Lagian kalo aku bilang, hubungan kalian jadi nggak enak, kan?"

Aku mengangguk setuju tapi tetap saja sikapnya membuat salah paham, sama seperti ucapan Mbak Amel tadi. Aku sudah berpikir yang tidak-tidak, nyatanya itu hanya ungkapan kejujuran Mbak Amel. Masih aku ingat ucapan kakak kandungku itu, dia memang menyukai Mas Hakim tapi itu jauh sebelum dia tahu mas Hakim menyukaiku.

Mas Hakim tidak pernah memberi sinyal balasan pada perasaan Mbak Amel, sampai pria ini mengetahui bahwa aku adiknya. Mas Hakim mulai bertanya banyak hal tentangku padanya yang akhirnya membuat Mbak Amel sadar, bila aku orang yang disukai atasannya itu.

Kedekatan mereka semata-mata karenaku. Bagaimanapun Mas Hakim adik iparnya, dan Mbak Amel tidak mungkin merusak kehidupan rumah tanggaku. Mas Hakim terus mencari tahu segala hal tentangku pada Mbak Amel, hingga membuat kesalahpahaman bagi yang melihatnya, termasuk aku dan Hana.

Iya, Hana. Sama sepertiku, Hana mengira mereka berhubungan, makanya dia tak suka padaku yang dianggap sebagai pihak ketiga dalam hubungan Mas Hakim dan Mbak Amel, nyatanya? Sejak awal jalinan asmara itu tidak pernah ada. Dan, aku lega sebab sekarang Mbak Amel sudah menemukan pria yang mencintainya sepenuh hati dan jiwa.

"Mikir apalagi, sih? Ya ampun, Cha. Jangan bikin aku takut." Pertanyaan yang mengandung kekhawatiran dan kejengkelan itu menciptakan senyum kecilku. "Nggak usah mikir yang aneh-aneh. Jangan narik kesimpulan sendiri. Bilang sama Mas apa yang kamu rasakan. Aku nggak mau kita berantem kayak kemarin lagi, Cha. Beneran, Mas nggak mau kamu pergi lagi. Mas takut setengah mati," ujar saat aku tak menjawab pertanyaan dia. Dekapannya begitu erat tapi aku menyukainya. Nyaman dan hangat.

"Apa penjelasan Amel masih bikin kamu nggak percaya? Bilang sama Mas gimana caranya bikin kamu percaya." Ia mengurai pelukan, memisahkan raga kami hingga terdapat celah. Ia menatapku lekat. Wajahnya mendung, frustrasi dengan reaksiku. "Bilang, gimana cara biar kamu percaya. Biar kamu yakin aku sama Amel nggak ada apa-apa. Please, aku harus gimana?" tanya dia tak sabaran. Gelenganku menambah frekuensi frustasinya naik. Ia mendesah lelah. "Cha ...."

"Aku percaya, kok." Kalimat syukur sontak meluncur darinya. Ia kembali menarikku ke dekapannya dan aku membalasnya. "Terus kenapa Ibu lebih suka Mbak Amel yang bantu timbang minta tolong aku?"

"Itu sebenarnya Ibu nggak minta tolong sama Amel, tapi Hana yang minta tolong. Lagian Mas yang nyuruh Ibu buat nggak terlalu repoti kamu, Cha. Biar Ibu di mata kamu bukan mertua yang kayak di sinetron-sinetron itu," jelasnya. "Kamu itu Mas nikahi bukan urusin rumah dan lainnya, cukup urusi Mas sama anak-anak nanti."

(Bukan) Pernikahan TerpaksaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang