Yuhuuu. Ayem kaming yes 😁
Wes lah eke kagak banyak bicit cuz baca ya. Lope-lope deh.❤️❤️❤️
Seharian di rumah Bunda tanpa pria itu membuatku tenang. Waktu yang tidak lama itu aku manfaatkan untuk berpikir. Dan menyadari jika ucapan juga tingkahku keterlaluan. Untuk beberapa bulan ini dia memang berusaha menebus kesalahannya dan bukankah itu bagus? Harusnya aku bersyukur dan bukannya marah-marah tidak jelas begini, tapi mau bagaimana lagi tiba-tiba emosi saja lihat dia.
Aku sendiri tidak tahu kenapa setiap kali melihatnya ingin sekali mencakar-cakar wajahnya. Tidak hanya itu, memukuli dia sampai aku lelah mungkin sedikit meredakan amarahku. Astaghfirullah. Jahat sekali niatku dan tendangan di perut bentuk protes dari anaknya Mas Hakim.
"Kamu itu, Dek, kenapa sih belain Ayah terus. Belain Bunda gitu, lho, sesekali. Bucin banget sama Ayah," gerutuku. "Tapi Bunda ya heran, lho, Dek. Kalo deket Ayah penginnya marah terus, kalo jauhan gini kangen. Maunya di manja-manja gitu. Labil, kan, Bunda?"
Mungkin jika ada penghargaan untuk ibu hamil paling labil di Malang, pasti salah satunya aku. Sebentar marah, sebentar kangen, benar-benar membingungkan. "Coba tiba-tiba Ayah di sini, Bunda bakalan minta peluk sampai tidur. Tapi itu nggak mungkin wong Ayah lagi di toko."
Tuhan seperti mendengar doaku, pintu kamarku diketuk dan suara orang memanggilku. Aku menatap lama pintu kayu itu serta meyakinkan diri bahwa itu benar-benar suara Mas Hakim. "Ayah, Dek. Kok bisa pas gitu, ya? Kamu pasti yang info ke Ayah buat nyusulin Bunda, kan? Hemm, bucin dah bucin kamu sama Ayah, Dek." Dengan langkah pelan aku membuka pintu dan dia menatapku sendu.
"Mas tadi lewat depan dimsum, siapa tahu kamu lagi pengin," ujarnya sambil mengangkat piring berisi panganan ala Korea tersebut. "Mas boleh masuk?" Ia meminta izinku, mungkin dia tak mau membuatku marah.
Aku menyingkir dari hadapannya. Mas Hakim duduk di sampingku. Rupanya dia sudah memotong kecil-kecil makanan tersebut. Aku meliriknya lalu menusuk potongan kecil siomai dan melahapnya.
"Jangan dimuntahin, Dek, kasihan Bunda," pesan Hakim seraya mengelus perutku. Senyumnya terbit saat bayi ini membalas ucapannya dia.
Dan, yah, si kecil ini tak berulah. Fix, dia benar-benar pemuja ayahnya garis keras. Aku jadi kesal tapi mulutku terus melahap jajan tersebut.
"Nah gitu pinter, Dek. Kalo nggak ada Ayah harus pinter juga."
Aku memutar bola mataku. Mereka berbicara seolah aku tak ada. "Kenapa, sih, dia nurut banget sama, Mas? Padahal dia numpang di perut aku, lho," protesku sebal. "Kesel kan jadinya, apa-apa kudu kamu. Manja banget padahal aku nggak pernah manja gini. Kamu pelet pake apa sih dia nurut gitu."
"Nggak ada. Mas nggak pernah apa-apain." Fokusnya pada gerakan si jabang bayi. Sesekali tangannya bergerak mengusap tonjolan di perut. "Ngajak main, ya, Dek. Habis ini bobok ya. Bunda pasti capek itu. Kasihan." Ia melabuhkan ciuman di perut. Tak lama ia melihatnya dengan pandangan sayang. "Nggak apa-apa manja, Mas seneng." Ia mengusap lagi perutku lalu menciumnya dalam.
Ah, dasar wanita lemah. Hanya seperti itu saja aku sudah meleleh. Perasaan kesal juga marah tadi langsung menguap. "Ya tapi kan harusnya dia juga nurut sama aku bukan sama kamu aja," protesku tak terima.
Ia mendongak, menatap dalam wajahku. Tak lama senyum manisnya tampak. "Iya nanti biar Mas bilangin nurut sama bundanya juga."
Biar begitu aku masih saja sebal. "Nggak bakal ngefek. Dia cuma nurut sama kamu. Cewek kali kok manja bener sama ayahnya." Mas Hakim tersenyum lagi. Aku menatapnya sengit. "Seneng, ya, punya sekutu." Aku meletakkan garpu sedikit keras. Benar-benar kesal.
Dia beranjak dari sisiku dan ternyata mengunci pintu. Ia kembali. Menyingkirkan piring kotor ke pinggir lalu dia duduk di meja tepat depanku. Dari matanya Mas Hakim seperti ingin berbicara serius. Dan sialnya hati ini jadi tak karuan. Apakah ia menyerah? Mungkin bosan dengan kelabilanku? Ya ampun.
"Kamu masih sakit hati sama Mas?" Aku mengangguk tanpa berpikir panjang. Ia menghela napasnya. "Mas harus gimana biar kamu nggak sakit hati lagi?" Aku menggeleng. Iya aku sendiri pun tak tahu dia harus bagaimana. Emosiku naik turun terus. Mas Hakim mengembuskan napasnya cepat. "Kita nggak bisa kayak gini terus, Cha. Mas salah dan memang wajar kamu sakit hati tapi kita udah sepakat untuk mulai dari awal, kan?"
Ya, waktu dia menceritakan semua tentang ketakutannya kami memang sudah sepakat.
"Tapi rupanya nggak semudah itu kamu ngelupain perbuatan Mas." Ia menatapku lamat-lamat. Binar matanya sendu. Tarikan napasnya pun berat. "Itu wajar dan Mas tahu diri. Jadi ...."
Entah kenapa perasaanku tiba-tiba tidak enak? Seperti akan ada sesuatu yang membuatku menangis. "Ja ... jadi apa?" cicitku.
Ia menghirup udara-udara banyak-banyak sebelum kembali menyelami netraku. "Mas kabulkan keinginan kamu."
Detak jantung ini seperti berhenti. Tidak. Semoga tak seperti dugaanku. "Ma ... maksud, Mas, apa? Keinginan yang ma ... mana?"
Mas Hakim meraih dua tanganku. Menggenggamnya erat seolah tak ingin melepaskannya. "Berpisah. Bukankah itu yang kamu inginkan? Seperti katamu bertahan karena anak ini. Maaf, bukan Mas nggak mau bertahan hanya saja Mas nggak mau kamu tertekan terus, Cha. Mas nggak mau jadi penyebab kalian kenapa-kenapa. Cukup Mas melakukan kesalahan kemarin tapi nggak untuk kedua kalinya."
Astaga. Aku memejamkan mata tanpa bisa berkata apa pun. Bahkan air mataku saja tidak menetes.
"Mas tetep jenguk kalian. Bawain kamu makanan. Kalian tetap prioritas utama Mas. Semua tetap seperti biasanya, mungkin frekuensi kita bertemu saja yang berkurang. Mas nggak mau kamu emosi terus tiap lihat Mas. Bahkan ..." Dia terlihat menahan emosinya. Mas Hakim memejamkan matanya lalu mengembuskan napas cepat. Ia kembali membuka matanya. Tangannya terulur mengusap air mata yang tanpa aku sadari jatuh di pipi. "Jangan nangis. Mas minta maaf. Apa pun yang terjadi nanti kalian tetap prioritas utama Mas."
Ini ... apakah ini akhir dari ....
Dia memeluk erat sebelum melepasku. Menciumku lembut meskipun rasa asin ikut meramaikannya. "Jangan nangis nanti pusing."
Bagaimana tidak menangis jika tiba-tiba mendepat hal yang terduga seperti ini.
"Udah nangisnya. Kasihan dedeknya, Bun."
Air mataku semakin deras mendengar perkataan dia. Kalau bisa aku juga tidak ingin menangis tapi air mataku tak bisa dihentikan. Tubuhku bahkan terguncang hebat. Kenapa rasanya ada kehampaan menghampiriku? Harusnya aku senang bukan tidak melihat dia dan tak harus emosi terus-menerus tapi ....
Aku mencengkeram bajunya saat dia kembali memelukku. Mengusap punggungku naik turun hingga berhenti menangis. Pikiranku kosong, bahkan saat ia menghelaku ke ranjang pun aku tak ingat. Ia terus menenangkan sampai larut dalam mimpi.
Tuhan ini mimpi, kan?
Tbc.
Halah mbuh wes. Ra iso omong aku.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Pernikahan Terpaksa
RomanceSaat sebuah ikatan menjadi belenggu, hanya ada dua pilihan. Bertahan atau melepasnya.