17. Pelaku Pembacokan

156 23 3
                                    

Sudah satu bulan Meza sembuh. Walaupun sembuh bukan hal yang mudah dia lewati tapi pada akhirnya dia mencapai titik ini. Titik di mana dirinya bisa sembuh dan beraktivitas seperti semula. 

Selama satu bulan pemulihan di rumah Meza merasakan cukup banyak tekanan. Maminya yang selalu mengomel dan papinya yang terlalu over. Meza benci di rumah, tetapi dia tidak bisa keluar. 

Penyakit paru-paru itu sudah lama bersarang dalam tubuh Meza. Hebatnya, tidak ada satu pun keluarganya yang tahu. Temannya pun hanya Jo, Nico dan Rama saja. Selain itu? Tidak ada. 

"Anak temen Mami si Farren Farren itu, satu sekolah sama Meza?" Di ruang makan obrolan dimulai oleh papi. 

Garpu yang tengah digulung oleh pasta berhenti bergerak. Mami menatap papi dan membalas, "Nggak. Dia SMK kalau nggak salah. Iya, nggak, sih, Za?" Kepalanya menoleh pada Meza. 

"Hm, iya. SMK Purna Putra," jawab Meza sekenanya. Cewek itu melirik Gevan yang tengah memainkan ponsel. Akhir-akhir ini kelas 12 memang sangat sibuk dengan berbagai tugas dan projek. 

Ngomong-ngomong soal Farren, setelah kejadian malam itu dia tidak bertemu lagi dengan Meza. Entah ke mana anak itu perginya. Bahkan snap WhatsApp dan Instagram-nya sudah hilang sejak kejadian itu. 

Meza memang tipe orang yang bodo amat, tetapi beda jika menyangkut Farren. Magnet apa yang dimiliki cowok itu sepertinya terlalu kuat hingga bisa membuat Meza selalu berpikir banyak tentangnya. 

"Dia anak tunggal atau gimana? Kok, sekolah di SMK?" tanya Gevan yang ternyata sudah tertarik dengan obrolan tersebut. 

"Nggak, dia punya kakak. Cowok juga, cuma kakaknya sekolah di inter," jawab Mami. "Nggak tau kenapa bisa beda, padahal Farren juga nggak kalah pinter. Waktu Mami ke rumahnya sertifikat atas nama dia banyak." 

"Meza udah selesai," Cewek yang rambutnya kini berwarna hitam total itu mengambil tisu dan mengelap bibirnya. 

"Tunggu bentar," tahan Gevan. 

Meza meraih tasnya dan mengambil HP-nya. "Nggak, gue mau bawa motor hari ini. Mau les nanti sore soalnya," tolak Meza karena mengerti apa maksud Gevan menahannya.

"Aku pamit. Uang les nanti tolong kirim ke Abang aja. Atau mau ke dana aku juga boleh. Kemarin asistennya Sabem udah chat aku," kata Meza sambil menyalami kedua orang tuanya. 

"Nanti papi aja yang hubungin langsung," sahut Papi. "Lupa kemarin mau dibayar."

"Yaudah, bebas. Otw, ya. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

****

Meza punya banyak temen cowok bukan karena dia yang mau. Akan tetapi tidak ada teman cewek yang berani mendekatinya terlebih dahulu. Kalaupun Meza yang mendekati, teman-temannya yang satu gender itu pasti menjauh. Entah apa alasannya. 

Ditanya 'kenapa' pasti jawabannya satu, 'nggak apa-apa'. Padahal Meza butuh penjelasan, bukan sebuah pengelakkan. Meza tau temennya itu bohong, makannya Meza males lagi temenan sama mereka karena Meza rasa temenan sama orang bohong tuh ngabisin tenaga. 

Nggak ngehargain makanan, waktu dan juga sering bohong itu adalah sifat-sifat orang yang harus Meza hindari. Dia tidak suka tipe-tipe orang seperti itu. Mau sekaya, secantik, seganteng, sepintar, dan sekeren apa pun orang tersebut kalau masuk salah satu kriteria di atas, Meza akan cut off. 

Meza pernah, bahkan sering, dibilang sombong hanya karena dia memutuskan untuk tidak berteman lagi dengan orang-orang tersebut. Namun Meza tidak peduli, toh ini hidupnya dan dia yang akan merasakan efek apa yang terjadi jika dia terus bertahan dengan orang-orang seperti itu.

RationemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang